Suara.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengumumkan adanya dua kasus virus corona di Indonesia pada Senin 2 Maret 2020. Hal tersebut membuat Indonesia masuk dalam peta persebaran virus Corona jenis baru atau Covid-19.
Masuknya Indonesia dalam peta sebaran Covid-19 juga menambah daftar jumlah negara yang terdampak virus Corona di dunia.
Resminya Indonesia terdampak pada virus yang berasal dari Wuhan China ini tentu membuat sebagian masyarakat Indonesia menjadi panik.
Fenomena panic buying atau membeli barang dalam jumlah besar sebagai antisipasi masyarakat saat wabah atau bencana terjadi mulai terjadi, terbukti dari melonjaknya aktifitas pembelian di sejumlah retail terutama untuk produk seperti hand sanitizer, masker, obat-obatan dan multivitamin hingga berbagai makanan pokok yang juga diikuti kenaikan harga barang-barang tersebut.
Baca Juga: Fenomena Panic Buying yang Bikin Warga Serakah
“Fenomena panic buying ini dapat menimbulkan kerugian secara keuangan tidak hanya secara personal namun juga secara luas, kami menyarankan untuk menahan diri dan membeli barang dalam jumlah sewajarnya, kita semua berharap virus Corona dapat ditangani dengan baik di Indonesia,” kata Alexander Adrianto Tjahyadi, Audit & Assurance Partner Grant Thornton Indonesia kepada Suara.com, Jumat (6/3/2020).
Merespon fenomena ini, Grant Thornton Indonesia menjabarkan setidaknya tiga kerugian dari panic buying:
Meningkatkan Inflasi
Aktifitas pembelian yang berlebihan tentu akan berpengaruh kepada perekonomian, fenomena panic buying oleh masyarakat akan memicu kelangkaan berbagai produk dan berdampak pada kenaikan harga barang tersebut yang dapat menyebabkan kenaikan inflasi yang akan mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia. Aksi panic buying yang hanya beberapa bulan sebelum Idul Fitri akan menyebabkan kenaikan inflasi yang lebih awal dan lebih lama.
Keuangan Rumah Tangga Terganggu
Baca Juga: Hindari Panic Buying, Dokter Ingatkan Pentingnya Cuci Tangan Pakai Sabun
Saat kita merasa terancam, secara psikologis dapat berakibat pada berkurangnya proses berpikir rasional dan lebih mudah terpengaruh dengan pola pikir kelompok. Dalam kasus virus Corona ini, dengan tersebarnya berita banyaknya kelompok masyarakat yang langsung memborong barang rumah tangga dalam jumlah banyak, ternyata otomatis langsung diikuti oleh kelompok lainnya (di sini juga terjadi efek latah).
Namun patut dipahami secara tidak sadar hal tersebut akan berdampak pada keuangan rumah tangga, karena pembelian impulsif bisa saja menyedot dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan reguler penting lainnya seperti uang sekolah anak atau cicilan rumah.
Belum lagi jika pembelian dilakukan menggunakan fasilitas kredit seperti misalnya kartu kredit, terjadi beban hutang konsumsi yang terlalu prematur dan tidak pada tempatnya. Dalam perencanaan keuangan rumah tangga, beban hutang konsumsi ini perlu dikendalikan.
Pemborosan
Bayangkan Anda membeli 50 kardus mie instan dan menimbun 100 kg beras sementara stok barang akan tetap cukup seperti apa yang dijanjikan pemerintah saat ini dan kondisi virus Corona tidak seburuk yang ditakutkan di tanah air.
Maka pembelian berdasarkan panic buying tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu tindak pemborosan karena akan cukup sulit untuk menghabiskan bahan makanan tadi sebelum masa kadaluwarsanya. Misalnya, beras mungkin berkutu dan rusak apabila disimpan terlalu lama.
"Melihat potensi kerugian yang akan diakibatkan tentu akan lebih bijak untuk menahan diri dan bersikap sewajarnya dalam menanggapi isu virus Corona ini," tutur Alexander.