Suara.com - Kasus gagal bayar yang dialami PT Asuransi Jiwasraya menimbulkan polemik di publik. Anggota Komisi XI DPR RI Eriko Sotarduga menginginkan permasalahan Jiwasraya dituntaskan dengan cepat dengan langkah yang benar.
"Bagaimana kita evaluasi UU ini (industri jasa keuangan) agar tidak terjadi lagi ke depan. Apa tidak berpotensi ini seperti gunung es, kan bisa saja. Tapi kami tidak mau jauh ke sana. Bagaimana ini ke depan tidak terulang lagi. Jangan ada aturan yang abu-abu," kata Eriko di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Maka dari itu kata Politisi PDIP ini penting untuk melakukan sejumlah perubahan dalam UU industri jasa keuangan, dimana kata Eriko masih ada aturan yang belum jelas.
"Ini sekarang kita sedang membahas UU prioritas, RUU BI, RUU OJK. Cuma sekarang kita kan lagi menyelesaikan Omnibus Law terlebih dahulu. Itu kan permintaan pemerintah tapi habis itu kami akan minta perubahan UU BI, OJK dan lain-lain," katanya.
Baca Juga: Ngotot Mau Pansus Jiwasraya, Demokrat Bakal Ajukan Hak Interpelasi
Menurutnya aturan pengawasan, terutama terkait investasi yang dilakukan menjadi sangat penting, mengingat Jiwasraya melakukan investasi saham yang tidak semestinya, investasi yang justru merugikan buat Jiwasraya.
"Setelah itu pengawasannya kan harus ada. UU OJK, UU BI, Bepepam juga, bursa juga. Sekarang begini kenapa kok bisa dari harga (saham) sedemikian tinggi harga Rp 700 tinggal Rp 50? Bagaimana caranya seperti itu kalau perusahaannya benar," katanya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono mengatakan, ada tiga dugaan kejahatan yang dilakukan para tersangka korupsi di dalam tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Tiga dugaan kejahatan yang dilakukan itu yakni fee broker, pembelian saham yang tidak likuid, dan pembelian reksadana.
Hari mengungkapkan hal tersebut sudah disampaikan dalam rapat dengar pendapat antara Kejaksaan Agung dengan Komisi III DPR RI.
Baca Juga: DPR Usul OJK Dibubarkan, Fungsi Pengawasannya Dikembalikan ke BI
"Ada dugaan penyalahgunaan tiga perbuatan yang antara lain tentang fee broker, pembelian saham yang tidak likuid, dan pembelian dana Reksadana," kata Hari di Gedung Jampidsus Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020).
Dengan adanya dugaan tiga kejahatan tersebut, maka konstruksi hukum yang bisa disangkakan kepada para tersangka ialah Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Artinya membangun konstruksi hukum secara utuh sebagimana perbuatan yang diduga melanggar hukum yaitu, fee broker, pembelian saham yang tidak likuid dan pembelian dana Reksadana," pungkasnya.
Untuk diketahui, Kejagung sejauh ini sudah menahan lima orang tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana Investasi Jiwasraya periode 2018.