Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta para duta besar (dubes) dan perwakilan RI di luar negeri untuk melakukan diplomasi ekonomi karena dianggap sebagai hal yang paling diperlukan Indonesia saat ini.
Jokowi saat Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Kepala Perwakilan Republik Indonesia dengan Kementerian Luar Negeri di Istana Negara Jakarta, Kamis (9/1), mengatakan dubes mengemban amanah konstitusi sebagai duta perdamaian, namun ia ingin mereka fokus berdiplomasi ekonomi.
“Kita ingin, kita semua fokus pada diplomasi ekonomi, 70-80 persen apa yang kita miliki itu fokusnya di situ di diplomasi ekonomi, karena itulah yang saat ini yang sedang diperlukan negara kita,” ujar Jokowi.
Oleh sebab itu, ia menegaskan betapa penting bagi para dubes tersebut memegang peran sebagai duta investasi. Untuk itu mereka harus mengetahui celah investasi di bidang apa saja sehingga ke depan bisa menjadi prioritas untuk diproduksi.
Baca Juga: Polemik Mahalnya Harga Gas Berujung Murkanya Presiden Jokowi
“Yang pertama bidang-bidang yang berkaitan dengan barang-barang atau produk-produk substitusi impor,” kata Presiden.
Ia mencontohkan produk petrokimia di Tanah Air sebanyak 85 persen masih impor sehingga jika ingin meningkatkan investasi maka disarankan mencari produk yang berkaitan dengan substitusi impor.
Selain itu yang berkaitan dengan energi karena Indonesia masih banyak mengimpor minyak dan gas (migas). Batubara misalnya, bisa diubah menjadi substitusi LPG di mana LPG di Indonesia sebagian besar bahkan semuanya masih impor.
Selain itu, Presiden juga menekankan pentingnya untuk menemukan investor yang berkaitan dengan upaya pengolahan bahan mentah karena Indonesia kaya dengan bahan mentah sebelum diekspor.
Ia mencontohkan kembali soal mengubah minyak kelapa sawit menjadi avtur karena Indonesia juga masih impor avtur. Di sisi lain juga dengan bidang yang berkaitan dalam soal pengembangan B20, B30 dan B50 bahkan B100.
Baca Juga: Presiden Jokowi Dikabarkan Bakal Kunjungi Bekasi, Wali Kota: Jangan Deh
Hal itu, menurut Presiden, penting sebagai upaya agar Indonesia tidak lagi sekadar menjadi negara pengekspor bahan mentah tetapi minimal produk setengah jadi. “Kalau kita bisa produksi yang B50 posisi tawar kita bisa naik,” katanya.