Berdasarkan sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Nicotine and Tobacco Research pada tahun 2014, sepertiga dari pengguna rokok elektrik kembali untuk merokok konvensional karena mereka khawatir akan bahaya rokok elektrik yang diinformasikan pada mereka, walaupun beberapa penelitian telah membuktikan bahwa mereka lebih rendah risikonya dibandingkan dengan rokok tembakau.
“Kesalahpahaman di sekitar rokok elektrik itu membuat putus asa dan mencegah perokok beralih ke alternatif yang lebih rendah risiko. Pendidikan adalah kunci, dengan itu, upaya pengurangan dampak buruk dapat berhasil dan akan menciptakan pendekatan yang lebih terbuka yang diperlukan untuk memotivasi perokok untuk berhenti,” ujar Dimasz.
Kesalahan informasi dan kebingungan seputar rokok elektrik semakin marak belakangan ini setelah terjadinya krisis kesehatan di Amerika Serikat yang dikaitkan dengan penggunaan rokok elektrik atau vape.
Kejadian ini pun sempat mendorong pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan wacana pelarangan produk vape.
Baca Juga: Kaleidoskop Kesehatan 2019: Regulasi Vape dan Risiko Penyakit Paru
Padahal, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) telah mengumumkan temuan investigasinya sejauh ini bahwa penyakit paru-paru misterius yang selama ini dikaitkan dengan vape disebabkan oleh penyalahgunaan zat terlarang seperti THC dan Vitamin E asetat.
Sejumlah asosiasi vape di Indonesia pun menyatakan bahwa pelarangan ini justru akan mendorong perokok untuk kembali ke kebiasaan merokoknya dan tidak akan menyelesaikan masalah rokok di Indonesia.
Saat ini, terdapat lebih dari 67 juta perokok dewasa, yang merupakan 39% dari populasi orang dewasa, dan jumlah ini menjadikan Indonesia negara dengan populasi perokok terbesar ketiga di dunia.