Suara.com - Pada 1997, kami terpaksa merantau ke Jakarta dengan baju apa adanya yang melekat di badan, tidak punya apa-apa... Sejak bawang putih kami porak-poranda akibat impor (Jitranto, petani Tegal).
Masih terpatri kuat dalam benak para petani Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, saat produksi bawang putih lokal berjaya di negeri sendiri di era 1982, hingga puncaknya 1995.
Badai resesi ekonomi yang diikuti kebijakan liberalisasi langsung menghantam kawasan produksi emas putih di lereng utara Gunung Slamet tersebut. Sejak 1998 hingga 2017, grafik produksi menukik jatuh tajam.
Petani bawang putih pun "mati suri" selama 20 tahun lamanya. Parahnya lagi, riset dan penelitian tentang bawang putih ikut mandeg, tidak beranjak dari referensi dan pustaka usang yang sudah tergerus zaman.
Baca Juga: Kementan Raih Dua Penghargaan Perak SNI Award 2019
Fakta sejarah gemilang saat para petani bawang putih mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang perguruan tinggi, masjid yang terbangun megah melampaui masanya, hingga petani yang berduyun-duyun berangkat haji dari hasil bawang putih tinggal menyisakan histori manis yang nyaris terkubur dalam ingatan petani yang telah renta.