Suara.com - Pejabat Federal Reserve mayoritas sepakat untuk tidak perlu lagi memotong suku bunga acuan mereka federal funds rate. Kecuali jika kondisi ekonomi berubah secara signifikan.
Hal tersebut terungkap dari risalah yang dikeluarkan pada Rabu (20/11/2019) dari pertemuan terbaru mereka. Bank sentral AS pada akhir Oktober 2019 telah memangkas suku bunga pinjaman seperempat poin ke kisaran 1,5 persen -1,75 persen. Pemangkasan ini menjadi langkah ketiga kalinya pada 2019.
"Namun, dalam melakukan hal itu "sebagian besar" anggota Komite Pasar Terbuka Federal melihat gerakan itu cukup "untuk mendukung prospek pertumbuhan moderat, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di dekat sasaran 2 persen simetris Komite," kata ringkasan pertemuan itu seperti mengutip cnbc.com, Kamis (21/11/2019).
Sikap kebijakan tersebut kemungkinan akan tetap, selama informasi yang masuk tentang ekonomi tidak menghasilkan penilaian ulang dari prospek ekonomi saat ini.
Baca Juga: Bank Indonesia Ungkap Zakat dan Infak Orang Indonesia Masih Rendah
Namun, mereka berpendapat bahwa kebijakan itu tidak berada di jalur yang telah ditentukan, bahkan jika kebijakan itu kemungkinan akan ditahan, dan anggota akan terus menilai perubahan dalam data dan pandangan umum.
Para anggota sering mencatat bahwa penyesuaian kebijakan Fed bekerja pada jeda yang dapat memakan waktu satu tahun atau lebih untuk dirasakan. Mereka juga bermaksud mengamati bagaimana peralihan ke kebijakan yang lebih mudah akan berdampak pada kondisi keuangan.
Pemotongan dimulai pada Juli, hanya tujuh bulan setelah komite menyetujui kenaikan suku bunga keempat tahun 2018.
Sentimen-sentimen itu sebagian besar sesuai dengan pernyataan publik baru-baru ini dari pejabat Fed.
Ketua Jerome Powell, dalam kesaksian kongres pekan lalu, mengatakan dia juga merasa nyaman dengan sikap kebijakan. Itu termasuk kemungkinan rendah kenaikan suku bunga juga: Mengikuti pertemuan FOMC 29-30 Oktober, dia lebih lanjut menyatakan bahwa dia tidak mengharapkan kenaikan kecuali jika ada kenaikan signifikan dalam inflasi.
Baca Juga: Bank Indonesia Pesimis soal Pertumbuhan Ekonomi, Sri Mulyani Buka Suara
Diskusi pada pertemuan tersebut mengindikasikan bahwa anggota merasakan ekonomi AS berada dalam posisi yang cukup kuat, dengan pasar tenaga kerja yang sehat dan selera belanja yang kuat di antara konsumen, yang aktivitasnya menyumbang sekitar 70 persen dari PDB.
Namun, mereka juga melihat "risiko penurunan seputar prospek ekonomi meningkat, lebih jauh menggarisbawahi kasus penurunan suku bunga" pada pertemuan Oktober. Mereka mengutip pengurangan investasi bisnis dan ekspor yang dihasilkan dari "kelemahan dalam pertumbuhan global dan meningkatnya ketidakpastian mengenai perkembangan perdagangan." Katanya.
Mereka memang mencatat bahwa kekhawatiran atas kedua masalah tampaknya telah "agak mereda."
BI Juga Diprediksi Tahan Suku Bunganya
Bank Indonesia (BI) diprediksi akan mempertahankan suku bunga acuan alias BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada level 5,00 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang bakal diumumkan pada hari ini Kamis (21/11/2019).
Kemungkinan BI menahan suku bunga karena BI telah memangkas suku bunga acuannya sebesar 100 bps sejak Juli hingga Oktober 2019.
"Besok BI akan mengambil kebijakan baru terkait suku bunga. Ini memberikan gambaran dari sisi kebijakan moneter, BI sudah memberikan arah bahwa support untuk pertumbuhan ekonomi, merespon perlambatan ekonomi global. Tapi dampaknya ke keuangan belum terlihat," kata Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah saat ditemui disela-sela acara Core Economic Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (20/11/2019) kemarin.
Piter bilang, BI dirasa sudah cukup untuk menurunkan suku bunga acuan sebanyak empat kali atau hingga 100 basis poin (bps) ke level 5,00 persen sehingga dirinya meminta bahwa BI tidak lagi menurunkan suku bunga acuannya lagi karena kondisi likuiditas perbankan sudah cukup ketat.
"Kalau kita lihat di 2019 sudah 100 BPS. Bagaimana suku bunga deposito dan kredit? Masih sangat lambat. Bahkan lebih lambat dibanding 2016-2017. Karena LDR perbankan masih cukup rendah. Sekarang ini likuditasnya cukup ketat," kata Piter.
Piter menjelaskan kalangan perbankan masih mempertimbangkan tingginya biaya dana (cost of fund) seiring ketatnya likuiditas sebelum memangkas suku bunga kredit. Hal tersebut membuat penurunan suku bunga kredit usai pemangkasan suku bunga acuan BI agak sedikit lambat.
"Sehingga kelonggaran suku bunga belum bisa diikuti suku bunga deposito dan kredit. Bank sekarang berebut dana, nggak suka bank tapi juga pemerintah. Bisa dibayangkan suku bunga kredit belum akan cukup turun," katanya.