Suara.com - Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan, setidaknya ada sejumlah kebijakan pemerintah di tahun 2020 yang justru bakal mengerek laju inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
Salah satu kebijakan tersebut adalah soal kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen yang bakal dimulai pada awal Januari 2020.
"Kenaikan cukai rokok di tahun 2020 ini jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai pada tahun 2018 yang mencapai 10 persen," kata Faisal dalam acara Core Economic Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya secara resmi menaikan cukai rokok. Kenaikan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Baca Juga: Petani Tembakau Tolak Kenaikan Tarif Cukai 23 Persen, Maunya Segini
Aturan kenaikan cukai rokok telah ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 18 Oktober 2019.
Faisal menuturkan, akibat beleid anyar ini justru berpotensi mendorong laju inflasi dan menggerus daya beli, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah.
Dia mengungkapkan, dengan jumlah perokok yang mencapai 34 persen dari total penduduk Indonesia, setidaknya bakal menyumbang sekitar 23 persen terhadap inflasi volatile food.
"Apalagi bagi masyarakat kita yang sering merokok merupakan barang yang paling banyak dikonsumsi setelah beras," kata Faisal.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo Siswoyo mengatakan kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah ini sudah terlalu tinggi dan tidak relevan.
Baca Juga: Didemo Petani Tembakau, Anak Buah Sri Mulyani Pasang Badan
"Kami industri menolak kenaikan cukai rokok yang kami nilai ini terlalu tinggi. Industri terdampak pasti ya karena memang kenaikan ini tidak rasional, karena cukup tinggi ya. Kenaikan ini akan mengganggu kinerja industri hasil tembakau," kata Budidoyo.
Budidoyo menambahkan industri rokok akan dihadapkan dengan potensi berkurangnya penjualan rokok di tingkat konsumen karena harganya mahal. Ujungnya, dia memprediksi di sekitar 3 atau 6 bulan pertama tahun 2020 industri akan memangkas jumlah produksinya.
"Ini yang kami khawatirkan potensi-potensi itu ada, yang paling rentan adalah pemutusan hubungan kerja karyawan. Imbas produksi turun terjadi multiplier effect," ucapnya.