Suara.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dihujani kritik setelah muncul rencana menerbitkan surat utang lagi. Kritik datang dari Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dan Ecky Awal Mucharam.
Dua anggota DPR dari partai yang berbeda ini punya pendapat yang sama. Heri Gunawan menyebut bahwa langkah yang dilakukan Kementerian Keuangan secara tidak langsung membuktikan bahwa tidak adanya perbaikan ekonomi selama lima tahun belakangan.
"Pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai target dan penerimaan pajak yang selalu meleset. Selama ini pemerintah tidak berhasil melakukan diversifikasi sumber pemasukan dari sektor pajak dan masih mengandalkan sumber-sumber lama dari sektor migas," ujar Heri pada Senin (28/10/2019).
Menurut Heri yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Ia juga juga menyinggung penghargaan yang didapat Sri Mulyani karena kerap berutang.
Baca Juga: Idham Azis: Saya Bilang ke Istri, Urusanmu Dapur, Sumur, Kasur Saja
"Utang, utang, dan utang. Bisa jadi, hobi gemar berutang inilah yang menjadikan nama Sri Mulyani bersinar di dunia internasional dan mendapatkan banyak penghargaan," ucap pria asal Sukabumi itu.
Politisi Partai Gerindra ini menambahkan "Ya, mendapatkan penghargaan internasional, karena ikut memberi andil keuntungan kepada pemberi utang dengan memberi bunga yang tinggi."
Sementara itu Ecky Awal Mucharam, politisi PKS khawatir rencana Sri Mulyani yang ingin menambah utang bisa menjadi bahaya laten bagi bangsa. Ia mengingatkan agar pemerintah mewaspadai utang yang semakin melonjak.
“Utang yang terus menumpuk dan tidak dikelola dengan baik, justru dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta membuat ekonomi Indonesia rentan akan external shock. Ketergantungan Indonesia pada utang ini salah satunya disebabkan oleh besarnya shortfall perpajakan," kata Ecky pada Rabu (30/10/2019).
Pria kelahiran 19 Maret 1969 ini menjelaskan bahwa pada tahun 2019 diperkirakan akan terjadi shortfall sebesar Rp 143 triliun. Menurutnya, Indonesia belum bisa memaksimalkan potensi pendapatan perpajakan yang ada.
Baca Juga: Rombongan Komisi III DPR Kunjungi Rumah Calon Kapolri
Ecky menghimbau, "Pemerintahan ke depan perlu merubah paradigma dalam pembiayaan defisit dan pengelolaan utang negara. Pemerintah dan Bank Indonesia harus pula mewaspadai tren meningkatnya rasio utang pemerintah dan utang luar negeri Indonesia di tahun 2019."
Debt to GDP ratio Indonesia memang mengalami tren peningkatan selama tiga tahun terakhir, dari 24 persen pada tahun 2014 hingga mendekati 30 persen di tahun 2019. Menurut Ecky, tren meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa kebijakan utang pemerintah relatif kurang efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Rencananya, surat utang tersebut akan diterbitkan dalam dua valuta asing (dual-currency) berdenominasi dollar AS dan Euro. Masing-masing sebesar 1 miliar dollar AS untuk tenor 30 tahun dan EUR 1 miliar untuk tenor 12 tahun. Itu berarti akan jatuh tempo pada 30 Oktober 2031 dan 30 Oktober 2049.