Suara.com - Wirausaha sosial menjadi salah satu profesi yang dapat memajukan ekonomi kerakyatan di era revolusi industri 4.0. Sudah ada sekian anak muda yang menggeluti profesi ini.
Dua di antaranya adalah Arina N Baroroh dan Alamanda Shantika Santosa. Mereka menyebarkan kisah perjalanan mereka dalam "Millenial Fest Industri 4.0", di Ballroom Hotel Adimulia, Medan, Sumatera Utara, Kamis (3/10/2019).
Arina adalah project manager Du'Anyam, yang beroperasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua. Ia mengatakan, Du'Anyam memproduksi dan mendistribusikan kerajinan anyaman untuk beberapa tujuan untuk memberdayakan perempuan lewat penguatan ekonomi keluarga, mempromosikan budaya lokal, dan meningkatkan kesejahteraan, khususnya ibu dan anak.
Du'Anyam berdiri sejak 2014, sampai pada puncaknya meluncurkan website e-commerce pada tahun 2019. Menurut Arina, menjadi wirausahawan sosial banyak tantangannya.
Baca Juga: Tingkatkan Revolusi Industri 4.0, ATR/BPN Fokus Siapkan SDM Berkualitas
"Kita waktu masih fresh grauduated, belum punya pengalaman dan belum ada tabungan, gimana mau pinjam ke bank? Terus kalau sudah ada uang, bagaimana mengembangkan operasionalnya? Kemudian bekerja di startup itu harus multitasking, merangkap tugas-tugas dari berbagai divisi," ujarnya.
Terkait rekruitmen staf, Arina menemui kendala dari sisi pendanaan untuk upahnya. Selain itu, kebutuhan perusahaan dengan tenaga kerja yang tersedia seringkali tidak cocok.
Selain itu, segi kapasitas produksi yang masih rendah dan omunitas terkadang belum bisa menjawab kebutuhan pasar.
Kaitannya dengan revolusi industri 4.0, Du'Anyam sudah menggunakan teknologi aplikasi monitoring produksi. Hal ini menantang Arina, karena sebelumnya, para pekerja tak biasa memegang smartphone, tetapi kemudian tantangan berhasil dilalui.
Kemudian ada Alamanda, project director Binar Academy, yang juga memiliki semangat yang sama. Perempuan berusia 31 tahun itu, sejak kecil sudah belajar coding. Sejak saat itu, ia mulai mencintai dunia teknologi.
Baca Juga: Orasi Budaya Garin Nugroho: 5 Paradoks Revolusi Industri Digital
Menurutnya, saat berniat mendaftar kuliah, ekonomi keluarga Alamanda sedang jatuh, karena ayahnya harus berobat. Ketika itu, yang bisa dilakukan Alamanda hanya membuat website.
Ia berusaha mendapatkan penghasilan dengan kondisi yang sangat terbatas.
"Sampai suatu ketika, ada teman yang minta saya bikinin website, jadilah website-nya. Sejak itu, banyak yang order website ke saya," ujarnya.
Pada usia 21 tahun, Alamanda mendirikan perusahaannya pertamanya, sebagai provider website. Namun karena merasa bekal untuk menjadi entrepreneur-nya masih kurang, Alamanda memutuskan untuk bekerja dulu di sebuah perusahaan.
"Saya teringat dengan perkataan bapak. Untuk bekerja dengan orang, saya harus memulai dari nol. Boleh saja kita melangkah cepat, tapi di setiap tahapnya ada lesson yang harus benar-benar kita pahami," ujarnya.
Waktu itu, Alamanda berperan sebagai orang yang meramu ide-ide inovasi dari Nadim Makarim di Gojek. Ia merasa bangga pernah menjadi bagian dari Gojek, apalagi ia juga punya peran saat decacorn ini masih merintis.
Tetapi dari pengalaman itu, Alamanda merasa ada sesuatu yang hilang. Ia kemudian memutuskan keluar dari Gojek dan bertekad menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Untuk itu, ia mendirikan Binar Academy.
Alamanda melihat, pendidikan dan kebutuhan industri tidak berjalan selaras, sehingga ia perlu membuat sebuah startup pendidikan. Binar Academy menyediakan berbagai program pendidikan yang berhubungan dengan teknologi informasi.
"Bagaimana kita memutar uang dalam bisnis sosial ini, dari perusahaan yang hire anak-anak Binar Academy. Mereka nggak perlu bayar uang muka untuk sekolah, yang bayar adalah perusahaan-perusahaan yang mau rekrut mereka," ujarnya.
Alamanda kemudian memaparkan berbagai kunci sukses mengembangkan produk. Pertama, perlu memahami customer.
"Ini salah satu yang sering dilupakan orang. Customer terdiri dari berbagai kalangan, sehingga kita perlu mengidentifikasi setiap orang," ujarnya.
Berikutnya yang tak kalah penting adalah memiliki visi besar, tapi tetap berpikir sederhana dan pragmatis.
Penting juga bagi wirausaha sosial untuk membentuk sebuah tim sebagai langkah awal memperbanyak ide, sebab kunci utamanya bukan ide tetapi orang yang mengeksekusi ide tersebut.
Saat produk sudah sukses di pasaran, seringkali wirausaha enggan mendengarkan orang lain, terutama customer. Menurutnya, penting bagi wirausaha untuk mau mendengarkan dan belajar dari kesalahan.
Menurutnya, anak muda kerap mengeluh soal peran pemerintah dan ekosistem terhadap inovasi mereka. Ia mengatakan, ini mindset yang salah.
"Kita ingin mengubah dunia, jangan menunggu pemerintah. Yang harus dilakukan adalah ikut membantu pemerintah memajukan Indonesia," tutur Alamanda.