Suara.com - Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero), Gilarsi W. Setijono mengatakan, untuk meningkatkkan daya saing PT Pos Indonesia dalam industri pos, dibutuhkan peran pemerintah di dalamnya. Sesuai dengan Pasal 51 Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos disebutkan, pemerintah perlu melakukan penyehatan terhadap PT Pos Indonesia (Persero), sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk menghadapi akses pembukaan pasar global.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah dianjurkan mengintervensi proses penyehatan Pos Indonesia. Namun faktanya, sejak 2009, saat aturan terbit sampai saat ini, belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah.
Gilarsi pun menjelaskan, di seluruh dunia, industri pos dipenuhi oleh 192 operator yang menjadi anggota Universal Postal Union (UPU). Dalam perjalanannya, sebagian besar perusahaan pos global bertransformasi seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi.
Perusahaan pertama yang dinilai berhasil bertransformasi adalah Deutsche Post, di Jerman. Pada 2000, bermodalkan bantuan pemerintah Jerman, Deutsche Post mengakuisisi perusahaan logistik DHL.
Baca Juga: 273 Tahun, PT Pos Indonesia Selalu Ingin Beri Layanan Terbaik
Perusahaan tersebut mengembangkan model bisnis DHL, hingga akhirnya bertaraf internasional.
Lain halnya dengan perusahaan pos di Jepang yang mengatasi disrupsi industri pos dengan mengubah model bisnis menjadi ‘bank tabungan’. Perusahaan memberi lisensi perbankan kepada 24.500 kantor cabang hingga akhirnya menjadi consumer banking terbesar di dunia.
Alhasil, hampir semua warga menggunakan kantor pos untuk menabung.
Di Korea Selatan, Australia, dan Malaysia, perusahaan pos memperoleh bantuan yang besar dari pemerintahnya masing-masing, agar bisa bertransformasi dan tak tergerus perubahan zaman.
Sementara itu di Indonesia sendiri, Pos Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang masih bertahan di tengah disrupsi teknologi, meskipun pada kenyataannya belum ada bantuan yang optimal dari pemerintah.
Baca Juga: 273 Tahun Pos Indonesia, Ingin Tetap Relevan Sepanjang Masa
Gilarsi menjelaskan, sebagai anggota UPU, perusahaan memikul tugas sebagai layanan pos universal. Dengan bantuan dana operasional dari pemerintah sebesar Rp 345 miliar pada 2018, perusahaan mengelola kantor pos komersil di daerah terpencil yang jumlahnya mencapai 2.446 cabang.
Dalam prosesnya, perusahaan diminta oleh pemerintah melayani masyarakat dengan tarif yang sesuai ketentuan pemerintah sejak 2013. Penentuan tarif yang lebih rendah dari biaya operasional menimbulkan terjadi selisih biaya yang harus ditanggung perusahaan.
Padahal jasa pengiriman tersebut banyak dipakai oleh para perusahaan perdagangan elektronik (e-commerce) yang tengah menjamur. Perkembangan industri e-commerce, pada akhirnya justru dianggap menjadi duri dalam daging Pos Indonesia.
Pos Indonesia Jauh dari Kondisi Pailit
Semakin besar jumlah aktivitas pos e-commerce, maka selisih biaya yang harus ditanggung perseroan juga akan semakin membengkak. Isu di berbagai pemberitaan media massa kemudian berkembang semakin liar, bahwa Pos Indonesia berpotensi bangkrut dan pailit.
Menanggapi hal itu, Gilarsi menegaskan, perusahaan jauh dari kondisi pailit.
“Kami jauh dari kata pailit. Kami masih bisa menyelesaikan kewajiban dengan baik. Pinjaman uang ke bank memang dibutuhkan setiap perusahaan sebagai modal kerja,” tegas Gilarsi.
Menurutnya, perusahaan sedang berupaya keras untuk bertranformasi di tengah disrupsi model bisnis dan teknologi saat ini. Perbaikan model bisnis dan teknologi dilakukan tanpa menghilangkan tujuan dasar pendirian usaha.
Pada dasarnya, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki visi dan misi untuk mendorong aktivitas ekonomi dan menghasilkan keuntungan. Dalam konteks ini, Pos Indonesia tak bisa selincah perusahaan swasta dalam bertransformasi.
Pos Indonesia bisa saja mengubah model bisnis seperti perusahaan rintisan (startup), yakni dengan mereduksi biaya tetap, investasi aset dan karyawan demi memperoleh keuntungan bombastis. Namun sebagai perusahaan milik negara, Pos Indonesia juga dituntut peka terhadap kesejahteraan karyawan.
“Hal itu membuat perusahaan tak mudah bertransformasi dengan cara instan,” ujar Gilarsi.
Pada akhirnya, langkah solutif yang paling tepat dilakukan adalah berbenah diri, dengan mendorong anak usaha untuk bergerak lebih lincah, sembari menunggu langkah konkrit pemerintah melakukan penyehatan kinerja terhadap perseroan.
Saat ini, papar Gilarsi, Pos Indonesia memiliki tiga anak usaha, yaitu Pos Logistik, Pos Finansial, dan Pos Properti.
“Tiga anak usaha ini relatif lebih kecil dan lebih lincah. Perusahaan tidak harus mengikuti kewajiban-kewajiban yang harus dipikul oleh induk. Anak usaha bisa bertransformasi dengan cepat,” ujarnya.
Khusus di lini bisnis finansial, lanjut Gilarsi, perusahaan mengalami disrupsi ganda, baik disrupsi regulasi maupun disrupsi teknologi. Terkait teknologi, disrupsi terjadi mulai dari perkembangan teknologi perbankan hingga kemunculan teknologi finansial (fintech).
“Kami menyadari, model bisnis yang digunakan pada lini jasa keuangan merupakan sunset industry,” tutup Gilarsi.