ATR/BPN : 6.621 Lokasi di Indonesia Terindikasi Langgar Tata Ruang

Kamis, 29 Agustus 2019 | 10:51 WIB
ATR/BPN : 6.621 Lokasi di Indonesia Terindikasi Langgar Tata Ruang
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil. [Suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, berdasarkan hasil audit penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang yang dilakukan pada 2015 - 2018, terdapat 6.621 lokasi di Indonesia yang terindikasi melanggar. Sebaran paling banyak terdapat di Pulau Jawa, yaitu 5.286 lokasi.

Pelaksanaan pembangunan, dalam pemanfaatan ruangnya tidak mengacu pada Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan. Banyak alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan dan industri, kawasan lindung dikonversi menjadi lahan budidaya ekonomi, penerbitan izin lokasi bahkan izin mendirikan bangunan (IMB) menabrak ketentuan RTR.

Akibatnya, bencana terus bertambah, karena disebabkan ketidakpatuhan terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu, dibutuhkan upaya penertiban pemanfaatan ruang, berupa penegakan hukum.

"Dari 6.621 lokasi di seluruh Indonesia, itu sifatnya indikasi pelanggaran yang belum tentu pelanggaran. Lokasi pelanggaran akan diumumkan ke masyarakat, supaya bisa ikut mengawasi, sehingga ke depan, kita bisa manfaatkan ruang jadi lebih tertib, aman, dan nyaman," ujar Sofyan A. Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN, di Gedung Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Baca Juga: Menteri ATR Isyaratkan Ibu Kota Baru Belum Tentu di Kalimantan Timur

Senada dengan Menteri ATR/Kepala BPN, Budi Situmorang, Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah menjelaskan penyebab banyaknya daerah terindikasi melanggar, yaitu karena tidak sesuai dengan tata ruang, tidak ada izin atau tidak memenuhi semua syarat-syarat perizinan, dan menutup akses publik.

"Untuk 2019, kami masih melakukan audit. Ini saja indikasi yang masuk sudah banyak sekali," ujarnya.

Budi menambahkan, setelah diketahui lokasi mana saja yang terindikasi ada pelanggaran tata ruang, maka akan dilakukan penyidikan dan dikenakan sanksi administrasi.

"Seperti yang pak menteri sampaikan, kita lakukan mulai dari teguran yang paling soft sampai kepada pembongkaran atau pengembalian kawasan fungsi. Kemudian nanti yang terakhir, yang paling berat, pidana tentunya," tambahnya.

UU 26/2007 menegaskan, mekanisme penegakan hukum bidang penataan ruang dilaksanakan melalui adanya ketentuan sanksi bagi siapapun yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang, baik berupa sanksi administratif, sanksi pidana, maupun sanksi perdata. Pengaturan sanksi ini diharapkan mampu membuat masyarakat Indonesia untuk lebih tertib tata ruang.

Baca Juga: ATR/BPN Beri Pembinaan Monitoring Evaluasi Pendaftaran Tanah Sistematis

Penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang dilakukan dengan audit tata ruang, yang menjadi dasar kegiatan pemberian sanksi berupa sanksi administratif melalui Fasilitasi Penertiban Pemanfaatan Ruang (Fastib) dan sanksi pidana melalui Pengawasan, Pengamatan, Penelitian, dan Pemeriksaan (Wasmatlitrik).

Khusus untuk upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang, saat ini telah terbentuk 646 Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan Ruang (PPNS PR), yang tersebar di seluruh 34 provinsi.

Upaya penertiban pemanfaatan ruang melalui penegakan hukum yang terus dilakukan dengan tindakan nyata, sehingga diharapkan dapat mendorong kualitas RTR, kepatuhan pemanfaatan ruang, sehingga tata ruang Indonesia menjadi lebih tertib.

Upaya ini merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam melakukan penegakan hukum bidang penataan ruang. Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah mengedepankan pula pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya pencegahan melalui peraturan zonasi, pengawasan terhadap izin pemanfaatan ruang, dan pemberian insentif dan disinsentif.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI