Suara.com - 273 tahun bukan waktu yang singkat bagi PT Pos Indonesia (Persero) untuk hadir melayani seluruh kebutuhan Tanah Air. Perjalanan panjang tersebut telah mengasah pengalaman dan kemampuan perusahaan dalam menghadapi segala bentuk rintangan dari masa ke masa.
Saat ini, di usia yang ke-273 tahun, Pos Indonesia tengah dihadapi pada tantangan disrupsi yang bisa dikatakan sudah memuncak. Namun demikian, perseroan tetap optimistis mampu membaca peluang dan potensi untuk menjadi relevan bagi kebutuhan bangsa, meskipun ada beberapa imbas disrupsi yang harus dihadapi secara realistis!
Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero), Gilarsi W. Setijono mengaku, di usia yang ke-273 tahun ini, Pos Indonesia tengah mengalami masa yang paling berat dalam sejarah. Saat ini, Pos Indonesia tengah berada pada puncak disrupsi.
“Artinya, di masa lalu, Pos Indonesia bukannya tak pernah melalui masa disrupsi, tapi di usia 273 tahun ini adalah puncaknya,” ujar lelaki kelahiran 10 Februari 1962 tersebut.
Baca Juga: Hadapi Revolusi Industri 4.0 Pos Indonesia Siap Ganti Model Bisnis Lama
Metamorfosa terus-menerus bergulir, meskipun pada kenyataannya, berbagai tantangan mampu dilalui dengan baik, walau tak mudah. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) orange ini mampu melewati berbagai fase perubahan zaman dengan tantangan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan di zamannya.
Namun sekali lagi, faktanya hingga kini, Pos Indonesia masih berdiri kokoh menjalankan visinya, yaitu menjadi layanan pos universal dan menyediakan fasilitas koneksi bagi masyarakat, serta tanpa henti menghadirkan berbagai inovasi.
Lebih lanjut Gilarsi menegaskan, Pos Indonesia masih merasakan optimisme dalam tantangan disrupsi yang tengah memuncak saat ini. Tetapi, lanjutnya, ada beberapa hal bagi Pos Indonesia untuk mampu melihatnya secara realistis, karena banyak ditemukan tantangan yang tidak mudah untuk dilalui.
“Ke-273 tahun Pos Indonesia, it’s a mix feeling antara realita yang sangat berat dengan sebuah optimisme yang tetap ada,” ujarnya.
Tantangan Pos Indonesia
Apa yang tidak mudah bagi Pos Indonesia saat ini?
Baca Juga: Model Bisnis PT Pos Indonesia Ketinggalan Zaman, KemenBUMN: Kita Ubah
Gilarsi mengatakan, ada beban di masa lalu yang justru bisnis modelnya sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Artinya, banyak bisnis model yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, yang segalanya kini begitu cepat dan mudah.
Sebagai contoh, bisnis Pos Indonesia yang digeluti hingga saat ini, yaitu kurir logistik dan jasa layanan keuangan, sudah tidak lagi berbasis pada aset dan tidak lagi berbasis pegawai tetap, namun berbasis pada kolaborasi atau bermitra.
“Misalnya pergudangan, model bisnisnya sudah seperti yang diimplementasikan oleh Air BnB, sementara itu dari sisi transportasi sudah diimplementasikan oleh Grab dan Gojek. Artinya, bisnis model yang dilakukan oleh Pos Indonesia adalah bisnis model yang sudah terlanjur salah, jika dilihat dari paradigm saat ini atau hari esok. Ini harus diakui sangat berat!” kata Gilarsi.
Kemudian dari sisi jasa layanan keuangan, lanjut Gilarsi, Pos Indonesia di masa lalu dibesarkan berbasis legacy model, dimana bank pun belum hadir masa itu. Sebut saja Wesel!
Transformasi yang dilakukan di masa lalu hanya berkutat pada hal yang itu-itu saja. Tidak pernah bertransformasi untuk mengantisipasi kehadiran teknologi yang sama sekali berbeda seperti saat ini.
“Bayangkan start up digital, tentunya berpikir dengan cara yang berbeda dengan legacy model seperti Pos Indonesia. Hal-hal seperti inilah yang harus diakui Pos Indonesia, berpikir realistis menghadapi perubahan tersebut,” tambah Gilarsi.
Bagaimana sisi optimisme Pos Indonesia?
Gilarsi mengatakan, walaupun bisnis sangat digital sentris, namun ia yakin masih ada kepentingan pada footprint, yang mana ini menjadi keunggulan bagi Pos Indonesia bila mampu mengoptimalkan secara inovatif.
“Footprint bisa menjadi keunggulan bagi Pos Indonesia, atau sebagai the only partner yang sangat relevan bagi para digital players,” ujarnya.
Untuk meraih optimisme tersebut, Pos Indonesia membutuhkan skill set yang sangat berbeda. Di usia yang ke-273 tahun, Gilarsi berharap dari sisi internal, Pos Indonesia mampu mempersiapkan skill set yang betul-betul siap untuk masa depan perusahaan, sehingga lebih matang dalam menangkap dan mengadapi perubahan di masa mendatang.
“Ini menjadi bagian dari strategi transformasi Pos Indonesia,” imbuh Gilarsi.
Gilarsi mengaku tidak mudah dengan 28 ribuan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, namun mereka hanya terlatih dengan skill set lama. Namun dengan rekrutmen yang baru, Pos Indonesia memastikan dapat membekalinya dengan skill set baru yang jauh lebih memahami kebutuhan Pos Indonesia saat ini dan untuk kebutuhan Indonesia di masa depan.
“Problem base learning dan design thinking merupakan sesuatu yang mutlak, yang harus dipelajari oleh karyawan Pos Indonesia ke depan,” ujarnya.