Suara.com - Kekeringan panjang akibat musim kemarau telah melanda sebagian Indonesia dan mulai berdampak pada petani. Kementerian Pertanian (Kementan) telah mengupayakan berbagai hal untuk mengatasinya, demi menyelamatkan petani, mulai dari rehabilitas irigasi hingga menyelenggarakan asuransi.
Kekeringan terluas terjadi di kawasan Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), yang merupakan lumbung padi nasional, terutama Jawa bagian barat dan utara (pantura).
Tapi bila dibandingkan tahun lalu, luasan yang terkena dampak memang jauh lebih sedikit. Pada 2018, wilayah yang terkena kekeringan mencapai sekitar 133,351 ribu hektare dan puso sekitar 26,287 ribu hektare.
Sementara pada 2019, angkanya mengecil, kekeringan mencapai 108,163 ribu hektare sedangkan puso mencapai 11,055 ribu hektare.
Baca Juga: Atasi Kekeringan, Kementan Programkan Pipanisasi di Brebes
Para petani di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, misalnya, tetap bisa bernapas lega meski sawahnya mengalami puso. Mereka sudah terlindungi oleh asuransi pertanian.
"Asuransi ini mendapatkan subsisi pemerintah. Petani hanya membayar Rp 36 ribu per hektare, dan pemerintah membantu sebesar Rp 144 ribu," ujar Direktur Irigasi Pertanian pada Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) (Kementan), Rachmanto.
Sejuta Hektare Dilindungi Asuransi
Saat ini, sudah ada 1 juta hektare lahan yang terlindungi asuransi. Persyaratan pengajuan premi asuransi cukup mudah.
Petani bisa mengajukan lewat petugas penyuluh pertanian (PPL), sementara klaimnya tetap melalui Dinas Pertanian untuk dinyatakan gagal panen atau tidak.
"Gagal panen akibat kekeringan, mau tidak mau harus diganti melalui skema asuransi," ujarnya.
Baca Juga: Musim Kemarau, Kementan Tinjau Cirebon dan Pastikan Distribusi Air Merata
Namun, bagi wilayah yang belum sampai gagal panen, masih bisa dilakukan beberapa langkah penanganan yang cukup jitu. Beberapa langkah antisipasi yang kemudian efektif dijalan selain asuransi pertanian adalah rehabilitasi irigasi.
Sejak 2015 silam, Ditjen PSP sudah melakukan rehabilitasi jaringan irigasi tersier seluas 3,13 juta hektare. Adapun waktu pengairan menjadi lebih cepat dan kehilangan air di sepanjang saluran berkurang secara signifikan.
Langkah lain adalah membangun embung-embung pertanian, yang jumlahnya terus bertambah. Sejak lima tahun terakhir, Kementan sudah membangun 11.654 unit embung.
Pembangunan fasilitas ini untuk menambah pasokan air pada lahan sawah yang memiliki potensi tampungan air dan mengalami kekurangan air pada musim kemarau.
"Embung ini bermanfaat sebagai cadangan air untuk tanaman pangan dan peternakan," kata Rahmanto.
Penanggulangan dampak kekeringan makin efektif setelah ditambah dengan pendistribusian pompa air. Pada 2018 saja, pemerintah melalui Kementan sudah menyalurkan 33.193 unit pompa air yang dapat dimobilisasi dan dimanfaatkan di daerah yang terkena kekeringan.
Sedangkan irigasi perpompaan yang sudah disalurkan mencapai 4042 unit. Irigasi perpompaan, bukan hanya pompa saja namun juga sekaligus dengan saluran airnya.
Ada pula tindakan dari Kementan yang melibatkan TNI dan Polri, yakni gilir giring. Gilir giring mengalirkan air irigasi ke areal persawahan secara bergiliran dan adil sehingga semua kebagian air. Nah, agar proses gilir giring berjalan aman maka dilibatkan aparat.
"Aparat untuk jaga pintu air. Maklum, ada juga yang suka nakal," kata Rachmanto.
Langkah selanjutnya adalah sosialisasi untuk menanam padi gogo dan tanaman lain seperti jagung dan kedelai. Padi gogo, jagung dan kedelai mampu tumbuh di musim kemarau.
Upaya sosialisasi memang membutuhkan upaya, sebab masih banyak petani yang enggan menanam jenis padi gogo, jagung dan kedelai. Untuk benih padi gogo, pemerintah memberikan bantuan.
Padi gogo ini tidak membutuhkan air sebesar varietas padi pada umumnya dan tahan terhadap kekeringan.
"Nantinya, gogo akan ditanam di lahan kering. Lahan rawa bahkan di lahan sawah yang sumber airnya sedikit tapi masih memiliki potensi," jelasnya.
Musim kemarau mungkin masih akan terus berjalan. Namun upaya antisipasi sudah sangat baik dilakukan oleh Kementan sehingga dampaknya bisa diperkecil.
Hal ini tidak sampai merugikan petani dan yang lebih penting lagi pasokan beras tidak terganggu, yang bisa menyebabkan harga merangkak naik.