Giyatmi mencontohkan semisal untuk tanaman buah dan sayur, selama ini tak terhindar dari kandungan pestisida yang disinyalir sebagai pemicu kanker.
“Harus lebih banyak produksi bahan organik dibandingkan kimia, kalau terus tercemar zat kimia seperti pestisida, kanker akan jadi momok bagi masyarakat,” tandasnya.
Persoalannya, kemampuan produksi pangan berkualitas domestik masih terbatas. Saat ini saja, di pasaran produk buah dan sayuran organik jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk yang terbaur bahan kimia.
Terlebih lagi, pertumbuhan populasi tak sebanding dengan pertumbuhan volume produksi bahan pangan berkualitas.
Baca Juga: BPJS Kesehatan Blak-blakan soal Penerima Bantuan Iuran yang Dinonaktifkan
Giyatmi mendorong pemerintah memanfaatkan pengembangan serta hasil penelitian dari pusat riset pangan di dalam negeri, untuk mendongkrak produksi tersebut.
Sebagai contoh yang dibesut Pusat Teknologi Pertanian Inagro Parung-Bogor. Selama ini, pusat penelitian dan pengembangan pangan seperti Inagro telah sukses memproduksi bahan pangan sarat gizi.
Produk itu antara lain, pupuk micoriza (mico artinya jamur, riza artinya zat hara) dan bubuk pelet tinggi protein maggot.
“Pupuk micoriza bisa menggemburkan tanah, apalagi ini organik,” kata Giyatmi.
Sedangkan maggot, diolah dari tumpukan sampah yang biasanya hanya untuk pupuk kompos.
Baca Juga: Sri Mulyani Beberkan Alasan Tarif Iuran BPJS Kesehatan Naik
“Maggot itu tinggi protein, bisa dikonsumsi hewan ternak, hasilnya lebih baik dibandingkan pemberian antibiotik untuk hewan,” tukas Giyatmi.