Suara.com - Hanya pohon berbuah yang dilempari batu. Semakin lebat dan ranum buahnya, maka semakin banyak yang melemparinya. Sepertinya peribahasa itu cocok dengan kondisi sawit di Indonesia.
Bagaimana tidak, kampanye hitam yang terus dialamatkan ke penghasil devisa terbesar itu terus digaungkan oleh berbagai aktivis lingkungan dalam dan luar negeri. Bahkan, sawit menjadi momok bagi negara-negara Uni Eropa.
Negara-negara Uni Eropa sadar bahwa sawit tidak terlepas dari kehidupan masyarakat mulai dari tidur hingga terbangun kembali, atau bisa dibilang 24 jam tak bisa lepas dari sawit.
24 Jam Bersama Sawit
Baca Juga: Jokowi dan Mahathir Bersatu Hadapi Diskriminasi Sawit Uni Eropa
Sebagai contoh, saat terbangun dari tidur di pagi hari kita akan menuju ke toilet untuk mandi atau sekadar menggosok gigi. Asal tahu saja, bahan baku yang terdapat di dalam sabun mandi berasal dari olahan kelapa sawit.
Terdapat dua jenis minyak nabati yang dihasilkan kelapa sawit yakni minyak laurat dan minyak inti atau palm kernel oil.
Untuk menghasilkan busa yang banyak saat mandi, laurat bisa memunculkan busa melimpah. Sementara minyak intinya yang memiliki sifat anti mikroba selain bisa membersihkan kulit juga mematikan kuman-kuman yang menempel di kulit.
Setelah mandi, perut pun mulai terasa lapar. Di sini lagi-lagi minyak sawit bekerja, untuk menikmati omlet misalnya, bahan-bahan yang telah dipersiapkan sedemikian rupa tentunya melalui proses penggorengan bukan direbus apalagi dikukus. Itu artinya membutuhkan minyak goreng atau margarin yang berasal dari sawit.
Tak berhenti sampai disitu saja, untuk perawatan kulit yang menjadi suatu keharusan bagi kaum hawa, kandungan sawit juga rupanya ada di setiap produk-produk kecantikan atau bahkan minyak rambut yang kini lebih hits dengan sebutan pomade, kesemuanya itu menggunakan bahan olahan dari sawit.
Baca Juga: Cangkang Sawit Indonesia Bakal Penuhi Kebutuhan Energi Terbarukan Dunia
Sifat antioksidan di dalam minyak sawit bermanfaat bagi kulit. Itulah mengapa banyak perusahaan kosmetik menggunakan produk berbahan baku kelapa sawit.
Sawit Tanah Air Bikin Keki Negara Lain
Berbagai manfaat yang dihasilkan dari sawit menjadikan sawit sebagai penghasil devisa terbesar. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) devisa yang dihasilkan sawit pada tahun 2018 saja mencapai Rp 300 triliun.
Potensi besar itulah yang membuat negara-negara Uni Eropa iri dengan potensi besar yang dihasilkan sawit. Terlebih sawit tidak tumbuh di negara-negara Uni Eropa.
Berangkat dari hal itu kemudian negara-negara Uni Eropa mengganjal ekspor produk-produk sawit tanah air yang berimbas pada jatuhnya harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Sawit merupakan anugerah bagi Indonesia. Jika negara-negara Timur Tengah memiliki kurma sebagai salah satu penghasil devisa terbesarnya, Indonesia memiliki sawit yang bisa membuat negara semakin mandiri jika dikelola secara benar dan berkesinambungan.
Seperti peribahasa 'hanya pohon berbuah yang dilempari batu' selain diganjal negara-negara Uni Eropa. Sawit Indonesia juga kerap diterpa kampanye hitam, mulai dari isu pembakaran hutan sampai kerusakan lingkungan akibat limbah yang dihasilkan.
Pembuktian Dampak Sawit ke Lingkungan
Untuk membuktikan isu-isu tersebut, beberapa wartawan yang terdiri dari berbagai media massa termasuk Suara.com berkesempatan menyambangi langsung perkebunan sawit milik PT Paramitra Internusa Pratama (PT PIP) yang merupakan anak usaha Sinar Mas Group yang terletak di Desa Nanga Seberuang, Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Di lahan seluas 13.173 Ha, pada pagi hari baik mandor kebun maupun pemetik sawit terlebih dahulu berkumpul di areal estate untuk dilakukan pembekalan terkait keselamatan kerja dan pemberian pemahaman mengenai pentingnya menjaga lingkungan.
Ada pemandangan menarik saat apel pagi digelar, di lapangan upacara areal estate terdapat sampah-sampah plastik dan rumput liar yang dibawa para pegawai.
Sampah plastik dan rumput liar itu rupanya selalu dibawa setiap pagi saat apel pagi untuk kemudian nantinya diolah menjadi kerajinan tangan maupun pupuk.
Tak ingin percaya begitu saja, awak media kemudian melihat pengolahan rumput liar yang kemudian dijadikan pupuk. Pengolahan pupuk ini diakui Manager Region Semitau PT PIP Herman Teguh baru berjalan selama dua tahun.
Meski baru diterapkan, namun pupuk yang dicoba diinovasikan itu memberikan dampak yang cukup baik bagi tanaman-tanaman sayuran yang ditanam warga naungan PT PIP.
Selain rumput liar, sampah plastik yang berasal dari warga sekitar pun dikumpulkan untuk kemudian dipilah-pilah yang selanjutnya dijadikan kerajinan tangan seperti tas maupun keranjang belanjaan.
"Kita ingin menciptakan zero plastik, seperti yang sering digaungkan Presiden Jokowi," tutur Herman.
Usai melakukan apel pagi dan melihat pengolahan sampah plastik dan hama tanaman. Rombongan kemudian bergerak menuju kebun dan melihat proses panen tandan sawit.
Seperti panen sawit pada umumnya, pekerja yang bertugas memetik tandan sawit satu per satu mulai memetik sawit dan mengangkutnya ke truk yang telah siap membawa sawit dari tepi jalan yang berada di lingkungan kebun ke pabrik.
Pada saat berada di kebun sawit, rombongan media pun bertanya terkait pembukaan lahan. Mengingat, terdapat anggapan bahwa lahan-lahan sawit yang ada saat ini disebut-sebut merupakan hasil pembakaran lahan yang dilakukan secara membabi buta.
Namun, Manager Estate Region Sumitau PT PIP, Asep Jajuli mengatakan, bahwa lahan yang dikelola pihaknya adalah lahan yang sebelumnya ditinggalkan begitu saja oleh pembalak liar yang melakukan pencurian kayu hingga membuat lahan menjadi gundul di masa lalu.
Lahan yang telah gundul itu kemudian diurus legalitas kepemilikannya secara sah untuk kemudian dilakukan pemanfaatan penanaman sawit.
"Kalau dilihat dari peta sebaran lahan, lahan sawit kita yang sekarang ini tadinya lahan yang sudah gundul oleh pembalakan liar, jadi bukan kita yang menebang pohon apalagi membakar," kata Asep.
Selain itu, isu lingkungan terkait limbah hasil olahan sawit di pabrik pengolahan menjadi isu yang cukup sering digaungkan.
Limbah sawit disebut-sebut mencemari sungai dan air tanah yang dikonsumsi masyarakat. Limbah sawit juga disebut-sebut merusak ekosistem yang ada di sekitar areal lahan sawit.
Untuk membuktikan isu tersebut, rombongan kemudian mendatangi tempat pembuangan limbah cair hasil olahan sawit yang terdapat di dalam areal kebun.
Dan benar saja, limbah yang dialirkan dari pabrik tidak mengalir ke sungai. Limbah cair dari pabrik justru mengalir ke areal-areal yang terdapat pohon sawitnya.
"Ini sangat jauh ke sungai, limbah ini ditampung di blok-blok ini yang nantinya akan diserap lagi oleh pohon sawit, karena sawit ini memang membutuhkan pasokan air yang cukup banyak. Setelah airnya meresap ke lahan-lahan sawit, endapannya justru bisa dijadikan pupuk, masyarakat malah banyak yang minta untuk dijadikan pupuk," tutur Asep.
Untuk membuktikan bahwa lahan di sekitar perkebunan sawit tidak terkontaminasi limbah sawit. Di lahan konservasi yang terdapat di dalam areal perkebunan sawit ditumbuhi tanaman-tanaman langka dan unik.
Misalnya saja, terdapat tumbuhan dengan nama N Gracilis atau yang biasa disebut dengan tanaman Kantung Semar. Tanaman unik ini memiliki bentuk seperti kantung dan tumbuh merambat.
Warna kantung bervariasi, ada yang merah, hijau atau coklat kemerahan. Bentuknya silinder di bagian atas dan bulat telur di bagian bawah. Selain itu, cukup banyak juga ditumbuhi anggrek hitam.
Tepis Isu Sawit Penyebab Kebakaran Hutan
Koordinator Sustainability Region Sumitau PT PIP, Agustinus Nainggolan menegaskan, dengan adanya pembakaran hutan justru malah merugikan pihaknya.
Volume produksi PT PIP berkurang jika musim kemarau tiba ditambah dengan banyaknya pembakaran lahan yang menimbulkan asap pekat.
Tercatat, total produksi tandan sawit di Region Semitau tahun 2018 sebanyak 313.506 ton. Capaian tersebut mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2017 sebanyak 321.417 ton.
Sadar akan dampak yang ditimbulkan dari Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) pihaknya kemudian mempersiapkan tim khusus untuk menanggulangi karhutla, mulai dari peralatan pemadam api hingga pembekalan ke sumber daya manusianya.
"Kalau kebakaran, pasti rugi makannya kita utamakan pencegahan kebakaran. Anggaran untuk Karhutla Rp 1,8 miliar itu pada saat pengadaan tahun 2017," kata Nainggolan.
Tak cukup dengan tim Karhutla yang dimiliki PT PIP, pihaknya juga kemudian melakukan sosialisasi ke masyarakat sekitar tentang bahaya pembukaan lahan dengan cara membakar.
Membuka Harapan Tanpa Membakar
PT PIP sejak 2016 lalu telah membina warga melalui program Kebun Sayur Pekarangan (KSP) yakni sebuah upaya untuk mengurangi risiko kebakaran melalui pola pertanian ramah lingkungan, sekaligus untuk membangun ketahanan pangan.
Fabianatini (43) salah satu warga sekitar kebun sawit mengaku sangat terbantu dengan program tersebut. Dirinya mengaku, sebelum mendapatkan pelatihan kerap melakukan pembakaran lahan.
"Sebelumnya kita selalu bakar, setelah bakar abunya bisa sekalian jadi pupuk, barulah kita tanam," ucap Fabianatini.
Saat program KSP masuk, diakui ibu tiga anak itu, masyarakat tak langsung percaya dengan apa yang disampaikan oleh perwakilan PT PIP. Namun, ketika hasilnya mulai nampak, barulah masyarakat mulai antusias untuk mengikuti pelatihan.
Fabianatini mulai menanam sayur-sayuran di atas lahan seluas 10x10 meter persegi. Tanpa membakar lahan, sayuran yang ditanam Fabianatini tumbuh dengan subur dengan dibantu pupuk alami yang didapatnya dari hasil pelatihan.
"Saya tanam timun, bayam, kangkung, terong. Pernah sekali panen dapat uang Rp 2 juta, biasanya panen seminggu sekali," ucapnya.
Sama halnya dengan Fransiscusnyangga (48) yang juga menanam sayuran. Berbeda dengan Fabianatini, Fransiscus terlebih dahulu membuka lahan garapan dengan cara membakar lahan.
Namun, cara membakar yang dilakukan Fransiscus sesuai dengan cara adat. Dimana pada saat dilakukan pembakaran lahan tak mengenai lahan orang lain.
"Ada denda adat kalau bakar kena lahan orang," ucapnya.
Selain itu, lahan yang dibakar pun diakui Fransiscus tidak dalam jumlah besar dan langsung dilakukan pemadaman.
"Kami tidak menampik kalau ingin menggarap lahan pasti membakarnya dulu, kalau tidak kami tidak sanggup gambutnya," tutur Fransiscus.
Setelah adanya pembekalan dari PT PIP akan bahaya pembakaran lahan, baik Fabianatini dan Fransiscus maupun masyarakat sekitar memutuskan untuk tidak melakukan pembakaran lahan lagi.
Bahkan kelompok tani ini berpesan kepada para petani lainnya di Kalimantan Barat untuk turut menjaga lingkungan agar tidak terjadi kebakaran hutan. Petikannya ada di dalam bagian video di bawah ini.