Atas analisa itu, dia berpendapat, media siber memiliki konten media sosial yang menguntungkan. Dalam catatannya, Google telah mengumuman bahwa platform raksasa ini tidak mampu dan sadar ia tidak bisa bergerak sendiri, maka bergerak bersama untuk kondisi news.
Sementara Sapto Pemimpin Redaksi Tirto mengungkapkan, sebagian besar media online di Indonesia dikenal istilah trend start up dan “anak kandung”. Namun, paling penting menurutnya apapun model bisnisnya media haruslah segmented dan punya demografi.
“DNA harus jelas karakter medianya. DNA itu harus sampai pada seluruh karyawan dalam hal memanage tidak hanya visi dan misi kalau perlu office boy tahu. Demografi penting dalam anda menjual apapun termasuk di sosial media,” katanya.
Dia sepakat dengan pemaparan Albert tentang potensi Youtube yang sebagian besar ada di segmen hiburan. Namun menentukan suatu karakter media juga penting untuk bisa menjualnya dengan jelas. Sapto mengutip data, ada sekitar 13 miliar US Dollar atau sekitar 15 triliun rupiah yang akan beredar untuk digital pada tahun 2021. Dari total belanja digital itu, di Indonesia sebesar 60-80 dikuasai oleh google group.
Baca Juga: Meskipun Sudah Kena Tegur, Kimi Hime Tidak Akan Ubah Konten YouTube
“Apa yang bisa di jual, display ads, conten creation, community engagement, community insight, paywall subscription, media support: bikin media di baliknya adalah LSM internasional seperti greenpeace, Mongabay, dan lain-lain,” katanya.
Selain itu, melesatnya kehadiran suatu media media start up menurut Sapto, juga ditentukan oleh momentum. Setidaknya ini berdasarkan pengalaman dia merintis dua media terakhir ini, yakni merdeka.com dan tirto.id.
“Merdeka.com momentum nya ada saat berita jatuhnya pesawat Sukoi. Saya habiskan 2 minggu cari konten sampai ujung. Tirto ketika hadir pertama kali akan buat model pemberitaan tentang data, apa yang bisa kita lakukan dalam pemilihan Gubernur DKI, Ahok dan AHY bicara apa kita cari data. Saat ia bicara case kita cek fakta dan ada sumbernya. Jadi begitu dilihat momentum kita memberikan value lebih terhadap pembaca. Tirto konten politik tidak terlalu besar, yang banyak dibaca teman-teman yang sifatnya humaniora,” katanya.
Adapun Titin Rosmasari, pemimpin redaksi CNN Indonesia, mengulas sisi bisnis industri televisi di tengah gempuran digitalisasi. Pemred Trans7 dan CNN Indonesia TV ini mengaku, industri televisi yang dinakhodainya seolah bermain di dua kaki, yaitu di era konvensional dan era new media atau digital.
“Konvensional dan offline dan bagaimana berkomunikasi dengan media. Ada tv yang sudah heavy dari awal di digital akhir ini mengalami dilema finansial. Apakah benar kita ada di dua kaki di dua dunia, mereka jawab iya. Yang kita sampaikan kita semua percaya internet things sudah dua dekade masuk masih ada yang tergagap,” ungkapnya.
Baca Juga: Ini Syarat Video Kimi Hime yang Ditangguhkan Bisa Tayang Lagi di YouTube
Dia menyitir analisa Nielson yang menunjukkan penurunan penonton TV konvensional, namun realitas revenu atau pendapatannya relatif belum turun. Karena itu yang penting disasar saat ini adalah generasi Y, mengincar potensi spending money dari kalangan ini.