Suara.com - Anggota DPR RI Arteria Dahlan ikut bersuara soal kasus yang dihadapi Garuda Indonesia. Terutama soal dugaan rangkap jabatan oleh jajaran direksinya.
Menurutnya, jajaran direksi Garuda Indonesian dianggap telah mencoreng nama Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan adanya kasus-kasus yang dihadapi.
"Bayangkan kita semua dipaksa untuk menerima fakta bahwa Menteri BUMN, Petinggi BUMN selevel direksi seolah-olah tidak mengerti dan tidak memahami UU Larangan Monopoli dan praktik Persaingan Usaha yang tidak Sehat," ujar Arteria dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/7/2019).
Menurut Arteria, saat masyarakat telah dipaksa untuk terima fakta bahwa rangkap jabatan suatu hal yang biasa saja dan rangkap jabatan didasari untuk Penyelamatan Aset Negara.
Baca Juga: 5 Dosa-dosa Garuda Indonesia Versi Luhut dari Masa ke Masa
"Suatu pernyataan sesat, miskin logika dan nalar sehat manusia pada umumnya. Mereka sama sekali tidak memiliki kepekaan dan kepedulian sosial atas jerit tangis rakyat yang membutuhkan transportasi murah. Terlebih disampaikan saat rakyat bertanya-tanya apakah ada praktik kartel pada Garuda Group yang berpengaruh pada tingginya harga tiket," tutur dia.
Maka dari itu, Arteria meminta para jajaran direksi Garuda Indonesia Dicopot dari jabatannya. Hal ini, kata dia, karena para direksi tidak peka dengan kondisi yang ada, khususnya terkait dengan tingginya harga tiket.
"Seandainya Garuda terbukti melakukan pelanggaran, saya mohon tidak hanya Meneg BUMN dan para direksi saja yang mundur, kalau perlu mereka semua diproses hukum sebagai pelaku kriminal, dan dimasukkan saja delik pidana dalam jabatan," kata dia.
"Mereka tidak layak menjadi etalase negara di sektor pelayanan publik dan menjadi negative point pak Jokowi dari sisi pelayanan publik di sektor transportasi udara atau penerbangan," imbuh Arteria.
Luhut Ungkap 'Dosa-dosa' Garuda Indonesia
Baca Juga: Usai Dicecar KPPU, Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara Mundur
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Garuda Indonesia memang selalu dirundung masalah. Sehingga, pihaknya tak heran dengan masalah yang sekarang dihadapi Garuda Indonesia.
Menurut Luhut terdapat lima masalah yang dihadapi maskapai pelat merah tersebut.
"Garuda ini memang punya masalah dari masa lalu. Masalah (pembelian) pesawat harganya tidak benar, kemudian masalah inefisiensi, kemudian masalah minyak, PPh, dan seterusnya," katanya di Kantor Kemenko Bidang Kemaritiman, Jalan MH Thamrin Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Berikut lima masalah Garuda Indonesia versi Luhut:
1. Mark Up Pembelian Harga Pesawat
Manajemen Garuda Indonesia pernah menggelembungkan harga (mark up) pembelian pesawat. Hal itu terjadi pada 1988-1992 saat membeli pesawat Airbus A330-300.
Pada periode itu, Garuda Indonesia membeli pesawat Airbus jenis tersebut dengan nilai transaksi sebesar 214 juta dolar AS, padahal dalam situsnya Airbus menjual pesawat jenis itu sebesar 140 juta dolar AS.
2. Inefisiensi Manajemen
Maskapai berlogo garuda biru ini juga sempat dirundung masalah inefisiensi manajemen. Salah satunya, saat Garuda Indonesia dikomandoi Pahala N Mansury.
Saat itu, Pahala sempat mengalami ketegangan dengan para pilot Garuda Indonesia. Hal ini, karena dalam RUPS sepakat meniadakan Direktur Operasi dan Teknik. Selain itu, jumlah direksi juga bertambah dari 6 menjadi 9 orang.
3. Ketegangan Harga Avtur Pertamina
Ketegangan tersebut terjadi di zaman Garuda dipimpin oleh I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra. Saat itu, Ari Askhara menilai harga avtur di Indonesia mahal, sehingga mempengaruhi harga tiket pesawat.
4. Masalah Pajak
Ternyata Garuda juga sempat memiliki masalah pajak. Masalah tersebut terjadi sejak tahun 2015. Bahkan manajemen mengikuti pengampunan pajak atau tax amnesty untuk menyelesaikan masalah pajak yang totalnya sebesar 145,8 juta dolar AS.
5. Memoles Laporan Keuangan 2018
Ini merupakan kasus baru dari Garuda Indonesia. Kasus bermula dari keanehan laporan keuangan perseroan tahun 2018.
Pada tahun 2018, Perseroan mengklaim alami untung dengan laba bersih sebesar 800,85 ribu dolar AS. Laba ini diraih dari kontrak penyediaan wifi di dalam pesawat yang sebesar Rp 3,37 triliun. Padahal, kontrak tersebut masih dalam bentuk piutang.
Garuda pun terbukti melanggar dalam penyajian laporan keuangan tersebut. Sehingga, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan sanksi kepada Garuda Indonesia.
Adapun sanksi yang diterima maskapai yaitu denda dari OJK dengan total Rp 300 juta kepada manajemen, Direksi dan Komisaris, kemudian BEI juga memberikan denda sebesar Rp 250 juta. Sementara Kemenkeu membekukan Kantor Akuntan Publik selama 12 bulan.