Panca Amara Utama Diduga Rugikan Keuangan Negara

Kamis, 23 Mei 2019 | 23:04 WIB
Panca Amara Utama Diduga Rugikan Keuangan Negara
Ilustrasi pabrik. [Pixabay]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - PT Panca Amara Utama (PAU) diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2 triliun. Hal ini karena tidak melakukan pembayaran biaya konstruksi kepada perusahaan BUMN PT Rekayasa Industri (Rekind) untuk pembangunan proyek Pabrik Amonia Banggai di Kabupaten Luwu, Sulawesi Tengah.

Corporate Secretary dan Legal PT Rekind, Dundi Insan Perlambang mengatakan, selama ini Direktur Eksekutif PAU Vinod Laroya selalu menolak membayar kewajiban tersebut.

"Beberapa kali pertemuan mediasi sudah dilaksanakan antara Rekind dengan Saudara Vinod Laroya," ujar Dundi dalam keterangannya di Jakarta Kamis (23/5/2019).

Dundi mengingatkan, jika tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan persoalan secara baik-baik sehingga tidak perlu mencatut nama orang lain. Dundi menegaskan pihak Rekind tidak ingin memperpanjang persoalan dengan pihak PAU ke jalur hukum.

Baca Juga: Ditarget Beroperasi 2019, Pembangunan Pabrik NPK Dikebut

Pada awalnya, PAU sendiri menjalin kontrak kerja sama dengan sebuah Perusahaan Jepang untuk mengerjakan pembangunan proyek Pabrik Amonia Banggai di Kabupaten Luwu, Sulawesi Tengah. Namun di tengah jalan, Perusahaan Jepang tersebut tidak sanggup melanjutkan proyek dan proyek dilanjutkan oleh Rekind.

Saat pabrik ini telah selesai dibangun dan berproduksi, PAU menolak untuk melakukan pembayaran kepada Rekind dengan dalih karena telah terjadi keterlambatan pekerjaan pembangunan.

Sedangkan, keterlambatan tersebut karena sering terjadi demonstrasi karena komitmen penyelesaian yang tak tuntas antara pihak PAU dengan warga. Lebih lanjut Dundi menjelaskan, jika Vinod Laroya, secara tidak langsung memiliki andil dalam keterlambatan proyek ini.

Menurut Dundi, Vinod Laroya bersama timnya kerap ikut campur dalam proses pengadaan barang dengan mengarahkan pembelian dari India. Padahal dalam isi perjanjian kontrak kerja antara Rekind dan PAU, kontrak ini bersifat lump sum. Jadi, Rekind tidak harus membeli berbagai barang dari India.

"Sebelumnya Rekind tidak pernah membeli mesin dari India. Biasanya kami membeli barang dari Amerika Serikat, Jerman, atau Jepang. Karena harus membeli barang dari India, standar kerja kami (Rekind) menjadi berubah karena kualitas barang sangat jauh berbeda," jelasbya

Baca Juga: Konflik Tanah, Pembangunan Pabrik Semen Indonesia Aceh Terhenti

Rekind sendiri sebelumnya pernah mengingatkan ke PAU bahwa durasi waktu pengerjaan proyek ini terlalu singkat. Namun pihak PAU selalu meyakinkan Rekind jika waktu pekerjaan bisa disesuaikan dengan mudah. Kemudian Rekind juga pernah mengajukan surat permintaan perpanjangan waktu pengerjaan proyek sebanyak tiga kali kepada PAU.

Akan tetapi, surat tersebut selalu dibalas secara verbal oleh Vinod Laroya, "sudahlah kerja saja. Bantu kita sampai selesai. Kita kan teman. Masalah perpanjangan waktu gampang."

Selain menunda pembayaran, Pihak PAU secara diam-diam telah mencairkan dana performance bond sebesar 56 juta dolar AS melalui Bank Standard Chartered. Jadi total kerugian yang diderita Rekind, diperkirakan mencapai Rp 2 triliun lebih.

Hal ini, tentu saja membuat Rekind semakin geram terhadap PAU dan telah melaporkan kasus ini ke pihak Kepolisian dengan tuntutan pidana.

Selain itu Rekind juga didaftarkan pada Arbitrase Internasional Singapore dengan tuntutan sebesar 175 juta dolar AS oleh PAU.

"Kami sudah melaporkan kasus ini ke pihak Kepolisian sebagai tindak pidana penggelapan karena penguasaan pabrik tanpa memiliki ijin yang sah, kemudian masih menahan sejumlah uang dan pencairan performance bond secara diam-diam," jelas Dundi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI