Kenaikan Tarif Ojol Tidak Jamin Tingkatan Kesejahteraan Pengemudi

Senin, 06 Mei 2019 | 22:44 WIB
Kenaikan Tarif Ojol Tidak Jamin Tingkatan Kesejahteraan Pengemudi
Pengemudi ojek daring melintas di depan Stasiun Sudirman, Jakarta. [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Research Institute Of Socio-Economic Development atau RISED menyebutkan kenaikan tarif ojek online dinilai tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan pengemudi. Hal tersebut disampaikan melalui hasil survei berjudul 'Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia'.

Ketua tim peneliti Rumayya Batubara menilai Keputusan Menteri Perhubungan (Kepermenhub) Nomor 348 Tahun 2019 akan membebani tarif yang harus dibayar kepada konsumen. Sehingga, kenaikan tarif ojek online menggerus permintaan ojol hingga 75 persen.

"Konsumen yang menolak pengeluaran tambahan secara nasional 75 persen dari konsumen itu menolak kenaikan tarif," ujar Rumayya Batubara, Senin (6/5/2019).

Survei yang dilakukan pada 3.000 konsumen ojek online di sembilan wilayah di Indonesia yang mewakili tiga zona yang disebut dalam Kepmenhub tersebut, yaitu Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang, dan dilakukan dari 29 April sampai 3 Mei 2019.

Baca Juga: Survei Rised: 75 Persen Pengguna Ojek Online Tolak Tarif Baru

Dari hasil survei RISED didapatkan kenaikan tarif berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya. Menurut RISED, jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 7-10 km/hari di Zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera), 8-11 km/hari di Zona II (Jabodetabek), dan 6-9 km/hari di Zona III (wilayah sisanya).

Selain itu hasil riset yang dilakukan kenaikan tarif ojek online berpengaruh pada pengeluaran konsumen setiap harinya. Biaya tambahan yang dikeluarkan konsumen sebesar Rp 4.000 - Rp 11.000 per hari untuk di zona I, Rp 6.000 -15.000 untuk zona II, Rp 5.000- Rp 12.000 zona III.

"Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 kilometer ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan, misalnya Jabodetabek sebelumnya Rp 8.000 mejadi Rp 10.000 - Rp 12.500," tambahnya.

Masih menurut Rumayya, bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp 4.000 - 5.000 per hari. Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4 persen kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.

"Total persentase kedua kelompok tersebut mencapai 75 persen secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona maka besarannya adalah 67 persen di Zona I, 82 persen di Zona II, dan 66 persen di Zona III," tambah Rumayya.

Baca Juga: Sopir Ojek Online Biayai Pengobatan Klinik Penumpang yang Lupa Bawa Dompet

Sebagai tambahan, Rumayya juga menjelaskan bahwa rata-rata kesediaan konsumen di non-Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah sebesar Rp 4.900 per hari.

Jumlah itu lebih kecil 6 persen dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang sebesar Rp 5.200 per hari.

"Pemerintah perlu berhati-hati dalam pembagian tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan Pemerintah," jelas Rumayya.

Terbatasnya kesediaan membayar konsumen didorong oleh 75,2 persen konsumen yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Selain itu, faktor tarif ternyata menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan ojek online. Sebagai bukti, sebanyak 52,4 persen konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama.

"Jauh mengungguli alasan lainnya seperti fleksibilitas waktu dan metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan. Oleh karena itu, perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen," tambah Rumayya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI