“Kalau Bulog kemudian impor dan tidak dikenakan kewajiban tanam 5 persen, lalu importir merasa cemburu, nanti bisa-bisa impotir lapor ke WTO. Hal ini pernah terjadi di bidang susu. Waktu itu importir susu juga dipaksa bermitra, ini membatasi mereka, akhirnya mereka laporkan ke WTO karena ada persaingan yang tidak sehat,” tuturnya.
Diakui Rusli, industri susu memang beda dengan bawang, karena kebutuhannya lebih tinggi dan terkait protein. Namun jika kebutuhan bawang putih terus meningkat, bisa saja para importir melapor ke WTO.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengakui, ketersediaan bawang putih di Indonesia sebenarnya tidak bisa lepas dari impor.
Bahkan kata dia, hampir 560 ribu ton bawang putih didapatkan dari impor setiap tahunnya.
Baca Juga: Bulog Tepis Ucapan Prabowo soal Stok Beras Hanya Bertahan 3 Minggu
Menurutnya, tingginya lonjakan harga bawang putih pada awal tahun ini disebabkan karena terlalu optimisnya Kementerian Pertanian akan produksi dalam negeri.
Diakuinya, Peraturan Menteri Pertanian nomor 38 tahun 2017 tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH), dimana para importir diwajibkan menanam sebanyak lima persen dari volume pengajuan impor, adalah hal yang baik. Namun, bukan berarti ini menjadi jaminan.
Sehingga dia berpendapat, terdapat kekacauan dalam perencanaan tata kelola bawang putih.
"Sekarang kita seolah-olah impor dalam jumlah besar, dan itu sangat merugikan presiden," imbuhnya.
Terkait dengan penugasan Bulog untuk melakukan impor 100 ribu ton bawang putih, dia mewanti-wanti jangan keputusan tersebut justru semakin membenani kerja Bulog.
Baca Juga: Jokowi Yakin Tak Ada Lagi Beras Bulog Berwarna Cokelat Bahkan Hitam
"Tapi kalau tidak punya infrastruktur terkait, ya tentu biaya tinggi, karena harus pinjam gudang yang cocok untuk bawang putih, cost lagi disana. Sehingga tujuan utama untuk amankan pasokan bawang putih jadi terganggu," kata Andreas.