Suara.com - Penurunan harga daging ayam di sejumlah pasar tradisional, di beberapa daerah sejak Februari 2019, seharusnya ditanggapi sebagai salah satu hal positif. Demikian diungkapkan pengamat Ekonomi jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Defiyan Cori.
Defiyan menilai, kelebihan produksi daging ayam saat ini harusnya ditanggapi dengan positif. Walau demikian, ia menyayangkan adanya pihak-pihak yang menuding pemerintah dan menyebutkan penurunan harga disebabkan karena pasokan yang berlebih.
"Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sudah jelas mengatur apa saja fungsi dan tugas semua kementerian di negara kita. Kementerian Pertanian, misalnya, tugas pokoknya jelas menangani produksi pangan, sedangkan Kementerian Perdagangan mengurus terkait perdagangan dan harga baik di tingkat petani maupun konsumen," sebut Defiyan, saat memberikan keterangan, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Defiyan membeberkan, pengaturan fungsi dan tugas kementerian diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian dan Perpres Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementerian Perdagangan.
Baca Juga: Kementan Pastikan Kestabilan Harga dan Pasokan Jagung Pakan Ternak
"Ini kan, sebenarnya positif. Pemerintah telah mampu mendukung peningkatan produksi daging ayam di dalam negeri. Daripada produksi kita kurang, nanti jatuh-jatuhnya akan impor lagi," ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Indonesia saat ini mencapai 268.075 ribu jiwa, konsumsi per kapita 12,13 kg per tahun. Proyeksi produksi daging ayam nasional tahun ini, berdasarkan data Kementerian Pertanian sebanyak 3.647,81 ribu ton, sedangkan kebutuhan daging ayam nasional tahun ini mencapai 3.251,75 ribu ton, sehingga mengalami surplus sebanyak 396,06 ribu ton.
Untuk mengatasi kelebihan produksi unggas, Defiyan minta Kementerian Perdagangan untuk terus membuka peluang ekspor unggas maupun produk-produk turunannnya ke berbagai negara.
"Nah, ini kan harusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan untuk terus mendorong ekspor, melalui atase-atase perdagangannya yang ditugaskan di beberapa negara", ujarnya.
Lebih lanjut Defiyan Cori, yang juga dikenal sebagai Ekonom Konstitusi beranggapan bahwa selama ini, Kemendag hanya fokus melakukan pengaturan harga acuan di tingkat konsumen. Ia menambahkan, di saat kondisi harga di tingkat peternak di bawah penetapan harga acuan, belum ada kebijakan khusus untuk merespons fenomena tersebut.
Baca Juga: Kementan Melepas Ekspor 25 Ton Kubis Berastagi ke Malaysia
"Begitu harga di tingkat konsumen naik, pemerintah langsung cepat turun tangan melakukan operasi pasar, atau bahkan jika produksi kurang langung dipenuhi dengan impor. Langkah responsif juga seharusnya diambil ketika harga anjlok di tingkat peternak," ungkapnya.
Berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan pada pasal 26, Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor/impor dalam rangka menjamin stabilisasi harga kebutuhan pokok.
"Inilah yang perlu disinergikan untuk memformulasikan kebijakan yang tepat. Tentunya dalam hal ini, Kementerian Perdagangan mempunyai peran penting terkait informasi dan stabilisasi harga," tambah Defiyan.
Defiyan menambahkan, daging ayam, berdasarkan Perpres Nomor 71 Tahun 2015 merupakan satu di antara jenis bahan pangan pokok yang perlu dijaga ketersediaan dan stabilisasi harganya. Menurutnya, sebagian besar penduduk Indonesia saat ini sudah terbiasa mengkonsumsi daging ayam sebagai salah satu sumber protein hewani setiap hari.
"Sudah semestinya, barang kebutuhan pokok dan barang penting yang telah ditetapkan, termasuk di dalamnya daging ayam, menjadi perhatian pemerintah dalam mengatur ketersediaan dan stabilisasi harga," pungkasnya.