"Kalau bulan ramadan, apa saja barang yang diproduksi pasti laku. Namun saat bulan sepi terpaksa mengikuti model-model barang sesuai permintaan pelanggan," ujar dia.
Putra keempat dari lima bersaudara ini memunyai konfeksi atau industri rumahan sendiri untuk memproduksi hijab yang ia pasarkan di tokonya.
Bahan-bahan untuk membuat hijab yang ia gunakan hampir semuanya impor. Situasi itu riskan. Sebab, kalau nilai Dolar AS melonjak naik, harga bahan baku jadi semakin mahal.
Sementara dalam sepekan, barang-barang di tokonya rata-rata laku ribuan potong, dengan omset sebulan rata-rata sekitar ratusan juta rupiah.
Baca Juga: 'Bis Kota', Melawan Kopi Saset dari Utara Jakarta
"Omset toko dalam seminggu terkadang Rp 50 juta, kadang Rp 60 juta," ungkap Nando.
Berharap Tak Ada Bencana
Tahun 2019 ini, Nando berharap tak ada bencana alam yang melanda Indonesia. Sebab, bencana alam signifikan berpengaruh terhadap kondisi pasar di pusat grosir Tanah Abang.
Seperti ketika peristiwa gempa Lombok, tsunami Palu dan Donggala, serta tsunami di kawasan Selat Sunda terjadi, kondisi pasar di Tanah Abang langsung sepi pembeli.
“Kalau terjadi bencana alam, itu berpengaruh terhadap kondisi pasar yang jadi sepi. Sebab konsumen atau pelanggan rata-rata dari daerah. Seperti kejadian tsunami di wilayah Banten kemarin itu sangat berpengaruh ke kondisi pasar. Kalau ada bencana alam, daya beli pelanggan bisa berkurang sampai 50 persen," ucap dia.
Baca Juga: Kaum Muda yang Memilih Cadar di Era Terorisme
Sementara Deki, pelaku usaha konfeksi hijab, mengeluhkan harga bahan baku kerudung yang melonjak naik tahun ini. Alhasil, keuntungannya semakin tipis dari hijab-hijab yang diproduksi. Sebab harga produk yang di jual ke pasar tetap, tidak ada kenaikan.