Suara.com - Pemerintah diminta menyusun regulasi terkait dampak sosial pembangunan rumah, baik rumah tapak maupun hunian vertikal. Pemerintah juga diminta membuat pedoman desain arsitek bangunan, agar dapat mengakomodir nilai-nilai budaya daerah, sehingga bangunan tersebut memiliki ciri khas daerah Indonesia.
Demikian benang merah diskusi antara sosiolog, Imam B Prasodjo, dengan Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Khalawi Abdul Hamid, di Gedung KemenPUPR, Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Hadir pula dalam kegiatan diskusi tersebut Ketua Satgas Pemantauan dan Pengawasan Program Satu Juta Rumah (P2PSR), Lucky Korah, Direktur Perencanaan Penyediaan Perumahan, Dwityo A Soeranto, dan perwakilan dari unit kerja di lingkungan Ditjen Penyediaan perumahan dan Direktorat Jenderal Cipta Karya KemenPUPR.
Imam mengungkapkan, pembangunan rumah yang dilaksanakan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat penting dan dibutuhkan masyarakat. Banyak masyarakat yang masih tinggal di rumah tidak layak huni, seiring dengan perkembangan sebuah kota.
Baca Juga: Pada 2019, PUPR Targetkan Bangun 1,25 Juta Rumah
Meskipun demikian, imbuh Imam, pembangunan rumah yang kini di dorong oleh pemerintah melalui Program Satu Juta Rumah sebisa mungkin juga mendorong partisipasi aktif dari masyarakat. Dengan demikian, mereka juga mempunyai rasa memiliki terhadap hasil pembangunan hunian yang ada.
“Pembangunan perumahan jangan hanya mengejar fisik rumah semata, tapi juga harus diikuti dengan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunannya, sehingga mereka juga ikut memiliki hunian yang dibangun,” ujarnya.
Imam mencontohkan, pembangunan rumah di wilayah konflik dan wilayah yang terdampak bencana alam akan lebih cepat jika masyarakat ikut dilibatkan dalam pembangunannya. Selain itu, pemanfaatan bahan bangunan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal juga harus di dorong, agar rumah yang dibangun tidak kehilangan identitas daerahnya masing-masing.
“Para arsitek Indonesia tentunya juga memiliki desain lokal yang etnik dan sesuai dengan nilai-nilai budaya di Indonesia,” tandasnya.
Imam menambahkan, saat membangun rumah untuk masyarakat, pemerintah juga perlu memperhatikan sisi kebahagiaan masyarakat. Hunian yang dibangun jangan hanya fokus pada dampak ekonomi semata.
“Membangun rumah juga membangun wajah Indonesia di masa mendatang. Jika saat ini rumah-rumah yang dibangun hanya fokus pada fisik dan menonjollkan budaya serta penggunaan bahasa-bahasa asing dalam promosinya, bukan tidak mungkin nilai budaya ke-Indonesiaan akan hilang,” katanya.
Sementara itu, Khalawi menyatakan, pihaknya sangat terbuka untuk menerima berbagai masukan dari para pengamat dan pemerhati, termasuk para sosiolog terkait program peerumahan di Indonesia. Menurutnya, masukan tersebut sangat penting untuk menyusun pedoman bidang perumahan, khususnya untuk para pemimpin Indonesia di masa mendatang.
“Kami terbuka dan senang jika ada masukan-masukan terkait dengan program perumahan yang saat ini tengah di dorong pemerintah. Kami juga berusaha agar nilai-nilai budaya daerah bisa terlihat dalam hasil pembangunan yang kami laksanakan di seluruh Indonesia,” katanya.