Suara.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kebijakan pencabutan beberapa bidang usaha dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) kurang siap. Sehingga, menimbulkan kesalahpahaman masyarakat banyak.
Dia menjelaskan, pemerintah harus melihat akar masalah terlebih dahulu. Menurut dia, akar masalahnya yakni pada perizinan memulai usaha di Indonesia masih rumit. Kemudian birokrasi daerah yang lambat, korupsi dan pembebasan lahan butuh waktu lama.
"Itu yang harus diselesaikan dulu baru investor akan masuk. Ini paket saya bilang setengah matang enggak ada yang spesial dan prematur," ujar Bhima saat dihubungi Suara.com, Kamis (22/11/2018).
Bhima juga merasa heran dengan pencabutan 54 bidang usaha. Dia melanjutkan, pada paket kebijakan ke-10 tahun 2016, pemerintah sudah membuka ruang untuk investasi asing cukup besar.
Terdapat 101 bidang usaha yang diperluas bagi investor asing, tapi 51 bidang usaha buktinya tidak diminati oleh investor.
"Lho kenapa sekarang malah makin diperluas? Saya bingung logikanya. Dampak dibukanya DNI kepada asing juga tidak berpengaruh pada investasi yang masuk," tutur dia.
Bhima menambahkan, dengan pencabutan bidang usaha sebelumnya juga tidak meningkatkan jumlah investasi.
"Hasilnya pertumbuhan realisasi investasi tidak signifikan. Bahkan di kuartal III lalu investasi asing langsung atau FDI anjlok minus 20,2 persen dibanding posisi yang sama tahun 2017," pungkas dia.
Sebelumnya, pekan lalu pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ke-16 tentang Daftar Negatif Investasi. Terdapat 54 bidang usaha yang keluar dari DNI tersebut.
Dari 54 bidang usaha tersebut, sebanyak 25 bidang usaha dibolehkan pemerintah untuk dimiliki penuh oleh asing.