Dubes RI di Cina: Dunia Pariwisata Tak Kenal dengan Perang

Minggu, 18 November 2018 | 09:00 WIB
Dubes RI di Cina: Dunia Pariwisata Tak Kenal dengan Perang
Menteri Pariwisata, Arief Yahya. (Dok: Kemenpar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Apa kata Duta Besar RI di Tiongkok, Djauhari Oratmangun, saat 2 hari mendampingi Menteri Pariwisata, Arief Yahya di pameran pariwisata terbesar, CITM 2018, China International Travel Mart di Shanghai, 16-17 November 2018?

“Pariwisata tidak ada war, tidak ada perang, semua happy. USA saja bangun booth besar di arena CITM 2018 di Shanghai, meskipun sedang trade war atau perang dagang dengan Tiongkok,” katanya.

Bukan hanya USA, hampir semua negara yang agresif berpromosi pariwisata, ikut pameran di CITM 2018. Mereka adalah Amerika Serikat, Eropa, Asia Oceania, Afrika, hingga Timur Tengah.

Menurut Djauhari, ada 150 juta outbounds Tiongkok dan terus naik setiap tahunnya. Mereka memiliki capital, hobi belanja dan makan, dan penggemar pantai dan wisata bahari dan budaya

Baca Juga: Genjot Kedatangan Wisman, Kemenpar Resmikan Kantor di Singapura

“Di Shanghai, kami berkreasi untuk menarik wisatawan Tiongkok ke Indonesia,” ujar Djauhari semangat.

Dia melihat sendiri, bagaimana negara-negara tetangga aktif dan agresif mempromosikan destinasinya. Ada Thailand yang menjadi sparing partner dan sekaligus "musuh" profesional. Ada Malaysia yang sering disebut "musuh" emotional.

“Mereka juga pernah punya masalah dengan Tiongkok, tapi mereka cepat menuntaskan dan tidak gaduh,” ujarnya.

Djauhari juga mencontohkan Hong Kong dan Macau, yang juga besar-besaran promosi pariwisata mencari pasar Cina. Lalu Jepang dan Korea, yang juga punya cerita panjang dengan Cina.

“Semua memburu pasar Cina yang potensial dan punya spending,” katanya.

Baca Juga: Jual Wisata Batam-Bintan, Kemenpar Gandeng Scoot Airlines

Capaian yang sudah dimiliki oleh Indonesia, harus terus dirawat. Belajar dari cases yang pernah terjadi di negara lain.

“Jangan sampai kita yang sudah baik, kurang dirawat dengan baik, dan diganggu dengan statamen-statemen yang kurang bersahabat. Lebih baik mencari solusi dan rawat, serta kawal bersama untuk kemajuan dunia pariwisata ke depan,” ungkap Djauhari yang aktif keliling ke berbagai booth dan melihat keseriusaan setiap negara.

Menpar  setuju dengan Djauhari.

“USA yang sedang trade war dengan Cina saja tetap berjualan mempromosikan pariwisatanya buat orang Tiongkok. Kita yang sudah dipercaya wisman Tiongkok, harus bisa menjaga dan tetap tumbuh berkembang,” ujarnya.

Pariwisata, lanjut Arief, adalah industri yang borderless, tidak mengenal batas-batas teritorial. Apalagi di era milenial saat ini, semakin worldwide, sehingga tata krama, sopan santun sebagai pendudul global, juga harus dijaga.

“Saya juga setuju dengan kata-kata Pak Eddy Sunyoyo, Bidang Cina ASITA Bali, saat menghadap saya di paviliun Wonderful Indonesia di CITM, 16 November 2018. Pemilihan kata-kata yang beredar di media harus dipilih yang bagus, karena Bali adalah destinasi yanh kuat di budaya   dan budaya Bali sangat luhur, hospitality-nya tinggi, dikenal dunia karena kehalusan budi pekerti,” ungkap Arief.

Kembali soal persoalan Business to Business di industri Bali, hal itu, menurut Menpar, harus diselesaikan dengan baik dan bijak oleh para pelaku industri sendiri.

“Pemerintah akan membantu, agar kedua pemerintahan saling menyerahkan whitelist, industri yang direkomendasi untuk beroperasi di Bali,” kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI