Suara.com - Belakangan ini, istilah genderuwo mendadak viral setelah dicetuskan Presiden Jokowi untuk menyebut politikus yang kerjanya hanya menakut-nakuti masyarakat, pandai memengaruhi dan tidak menggunakan etika maupun sopan santun politik.
Sejatinya, genderuwo ini mitologi Jawa yang tidak kelihatan tetapi menakutkan.
Tidak hanya di tataran politik, ilustrasi genderuwo ini juga mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Dalam artian, genderuwo ini adalah mafia-mafia ekonomi yang menyatu dengan penguasa, tidak terlihat namun membuat rugi negara. Sebut saja mafia di sektor pertambangan migas, anggaran negara (APBN/APBD), sektor pangan hingga penegakan hukum.
Pakar Ekonomi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, sebetulnya pemerintah bisa saja terlepas dari politik atau genderuwo ekonomi tersebut, jika bersikap transparan dan jujur kepada publik.
"Kalau birokrasinya dibikin efisien, transparan dan profesional. Dengan birokrasi yang baik maka keterbukaan informasi itu akan bisa meminimalisasi kelompok kepentingan pribadi (vested interests) itu, karena masyarakat memiliki akses yang sama," kata Farouk, Jum’at (16/11/2018).
Menurut Farouk yang banyak menghabiskan karir keuangan Islamnya di Kantor Pusat Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah ini, timbulnya isu genderuwo ekonomi meski rezim terus berganti karena ada persoalan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia.
Jika tidak ada perubahan paradigma baru dalam sistem pembangunan nasional, maka para pemburu rente ini akan tetap tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
Celakanya, cengkraman kelompok-kelompok kepentingan pribadi ini terhadap akses ekonomi hanya melahirkan kesenjangan sosial yang semakin dalam.
Berdasarkan studi Credit Suisse (2016) Indonesia adalah negara terburuk ke empat dalam hal ketimpangan ekonomi.