"Nilai tambah dapat diambil oleh masyarakat, ketika kokon jadi tidak langsung dijual, tetapi diproses kelompok tani menjadi benang. Indikator keberhasilan Perhutanan Sosial adalah ketika akses kelola sudah diberikan, kemudian kerja sama sudah dibuat, dan ketua kelompok dapat menjadi lokal champion. Ke depan, ketika telah terbentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), harus ada kemandirian dan kelanjutan yang terus ditingkatkan oleh kelompok tani. Jika usahanya sudah bagus, maka mereka dapat bekerja sama skema bagi hasil dengan BLU, dengan terlebih dahulu mengajukan proposal. Petani dapat juga mengajukan KUR (kredit usaha rakyat) dengan bank Mandiri/BTN/BNI/BRI. Di lokasi ini, diharapkan dapat dikembangkan sekolah lapang untuk petani-petani sutera yang lain, sehingga dapat menjadi modal pengembangan usaha sutera alam Indonesia," jelasnya.
Sebelumnya, Ditjen PSKL, melalui Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat (BUPSHA) telah memfasilitasi pembentukan tujuh kelompok pengelola Hutan Rakyat (HR) persuteraan alam menjadi tujuh KUPS.
"Dengan KUPS diharapkan dapat membuka peluang pekerjaan dan meningkatkan jumlah dan kualitas produksi kokon sutera guna memenuhi kebutuhan industri kesuteraan alam," tutur Bambang.
Ia menambahkan, pesuteraan alam merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dan ramah gender.
Baca Juga: Jadi Cagar Biosfer, KLHK Serahkan Sertifikat ke Kapuas Hulu
"Melalui perhutanan sosial berbasis persuteraan alam inilah, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani, sekaligus juga menjaga kelestarian lingkungan, karena tanaman murbei yang merupakan pakan ulat sutera, juga dapat berfungsi sebagai tanaman rehabilitasi, dan pencegah erosi," pungkasnya.
Kolaborasi para pihak di KUPS Bina Mandiri menjadi titik penting dalam pengembangan program sejenis di lokasi lain. Dengan skema perhutanan sosial lainnya, seperti hutan rakyat, hutan desa, maupun kemitraan kehutanan, hal ini dapat mendorong industri sutera alam nasional untuk bangkit kembali.