Suara.com - Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Premium belum saatnya untuk dinaikkan. Harga Premium perlu dinaikkan, jika harga minyak mentah dunia menyentuh 100 dolar AS per barel.
Saat ini, harga minyak mentah dunia pada penutupan perdagangan Rabu waktu Amerika Serikat mencapai 83,09 dolar AS per barel. Harga tersebut turun 2,3 persen atau 1,91 dolar AS pada perdagangan hari sebelumnya.
"Kalau harga minyak dunia belum mencapai 100 dolar AS, sebaiknya harga premium jangan dinaikkan. Pertimbangannya kenaikkan harga premium akan memperburuk daya beli dan inflasi," ujar Fahmy saat dihubungi Suara.com, Kamis (11/10/2018).
Menurut Fahmy, pemerintahan Jokowi merasa dilema dalam keputusan harga premium ini. Karena, jika menaikkan harga premium, maka akan memberatkan rakyat kecil yang juga nantinya berimbas kenaikan harga bahan-bahan pokok.
Sedangkan, jika tidak dinaikkan, maka akan menambah beban Pertamina untuk menambal sisa subsidi dari pemerintah.
"Dilema itulah barangkali yang melatarbelakangi keputusan harga premium nyaris naik. Keputusan membatalkan kenaikkan harga premium juga menunjukkan bahwa Presiden Jokowi istiqomah berpihak kepada rakyat miskin ketimbang mengurangi beban Pertamina," pungkas dia.
Untuk diketahui, pemerintah membatalkan kenaikkan harga BBM jenis Premium. Harga Premium yang dijual akan tetap sama seperti sebelumnya yakni Rp 6.550 per liter.
Keputusan penundaaan kenaikan harga Premium ini tak berselang lama setelah pemerintah berencana menaikkan harga BBM tersebut. Pembatalan kenaikan BBM jenis Premium ini disebut-sebut berdasarkan perintah Presiden Jokowi.