Suara.com - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan.
"Jangan sampai kita melihat Rp 15.000 itu seperti sudah kaya kiamat," ungkap Perry Warjiyo di Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Pasalnya, pelemahan juga dialami oleh mata uang negara-negara berkembang lain. Hal tersebut terlihat dari depresiasi mata uang yang terjadi di negara-negara seperti Turki, Brasil, Afrika Selatan, India dan Filipina yang memiliki kondisi perekonomian sama seperti Indonesia.
"Tingkat pelemahan rupiah 9,82 persen dari akhir Desember 2017 sampai sekarang. Kita bandingkan dengan Thailand, surplusnya mereka besar 54 miliar dolar AS. Tidak bisa kita bandingkan dengan Thailand. Kita bandingkan dengan negara lain yang mengalami defisit serupa yakni rupee India yang mengalami pelemahan 12,4 persen," kata Perry Warjiyo.
"Dengan Filipina peso kok kita lebih tinggi kita 9,82 persen, sementara Filipina 8,2 persen. Lah wong mereka tahun lalu surplus baru sekarang saja defisit. Apalagi dengan Cina yuan justru melemah kan nilai tukarnya," tambahnya.
Untuk itu, ia menegaskan pelemahan mata uang merupakan fenomena global yang terjadi karena respons pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS serta potensi terjadinya perang dagang.