Suara.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bergerak melemah pada perdagangan di awal pekan ini. Mengutip Bloomberg, Senin (3/9/2018), rupiah dibuka di angka 14.745 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.710 per dolar AS.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pelemahan rupiah tersebut lantaran krisis yang terjadi di Argentina.
“Pelemahan ini terjadi di semua negara yang neraca perdagangannya defisit. Itu karena krisis yang dialami oleh Argentina kemarin itu. Dia (Argentina) dapat bantuan dari IMF tapi ternyata masih krisis juga, dana asing yang keluar banyak. Dikira akan survive ternyata tidak suku bunga acuannya malah dinaikkan. Ini yang jadi penyebab pelemahan itu tadi. Makanya pasa itu jitter (panik),” kata Darmin saat berbincang dengan Suara.com, Senin (3/8/2018).
Meski begitu, Darmin mengklaim bahwa tekanan rupiah dari Argentina ini sejatinya tidak perlu dikhawatirkan secara berlebih. Bahkan, dampaknya diperkirakan tidak lebih patut dikhawatirkan bila dibandingkan dengan gejolak ekonomi Turki beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Pengamat: Dampak Pelemahan Rupiah akan Meluas
"Dampaknya antara sama atau bahkan lebih sedikit (dari Turki), karena hubungan dagang Indonesia dengan Argentina dan Amerika Latin itu sedikit sekali," ujarnya.
Seperti diketahui, Argentina meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund / IMF) sebesar 50 miliar dolar AS untuk mengatasi krisis ekonominya. Pasar sudah memprediksi Argentina akan membaik namun dana asing yang keluar tidak terkendali.
Sebelumnya, Negeri Tango mengalami arus keluar dana asing hingga menyeret kurs peso ke kisaran 40 per dolar AS. Kendati demikian, bank sentral Argentina mengerek bunga acuan sampai 60 persen.
Namun, Darmin tak menampik bahwa sentimen gejolak ekonomi negara berkembang, seperti Argentina dan Turki ini tentu lebih mudah mempengaruhi pasar uang dan obligasi.
"Secara umum pasti ada dampaknya dulu ke sana, kemudian ada jalan keluar bisa di rem, baru kemudian tenang lagi secara global. Tapi, negara maju pun terkena, bukan hanya negara berkembang," ujarnya.
Baca Juga: Langkah BI Selamatkan Rupiah dari Pelemahan Terhadap Dolar AS
Selain itu, lanjut Darmin, nilai tukar rupiah terus fluktuatif karena juga terimbas sentimen pasar terkait tren penaikan suku bunga acuan AS, Fed Funds Rate. Apalagi bank sentral AS sudah memberikan sinyal penaikan sampai 2019.
“Berarti kita akan kena dampaknya baik di tingkat bunga dan inflasi karena imported inflation, tetapi sejauh ini belum," katanya.