Nur Mahmudi Ismail Korupsi Jalan Nangka, Korban Gusuran Ketakutan

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 30 Agustus 2018 | 17:24 WIB
Nur Mahmudi Ismail Korupsi Jalan Nangka, Korban Gusuran Ketakutan
Jalan Nangka, Kelurahan Sukamaju Baru, Tapos, Kota Depok Jawa Barat yang dikorupsi Nur Mahmudi Ismail.(Suara.com/Supriyadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nur Mahmudi Ismail ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus korupsi pembebasan Jalan Nangka, Kelurahan Sukamaju Baru, Tapos, Kota Depok Jawa Barat.

Suara.com dalam hal ini mencoba menyambangi Jalan Nangka untuk menanyakan besaran harga tanah yang terkena pembebasan tersebut kepada warga yang tanahnya terkena gusuran.

AI salah satu warga yang rumahnya terkena gusuran menuturkan, untuk pelebaran Jalan Nangka tanah per meternya menyentuh angka Rp 5,5 juta hingga Rp 11 juta per meter.

Padahal harga tanah per meter di daerah tersebut paling tinggi berkisar Rp 2,5 juta sampai Rp 4 juta.

Dari hasil gusuran tersebut, uang yang diterima AI dari Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Pemerintah Kota Depok terbilang cukup besar. AI mengaku, rumahnya dibayarkan permeternya senilai Rp 5.245.000, dari total luas tanahnya 107 meter persegi.

"Total saya dapet kurang lebih Rp 241.270.000, karena yang kena buat pelebaran hanya 46 meter,” kata Al kepada Suara.com, Kamis (30/8/2018).

Tak hanya rumahnya saja, ada sedikitnya 17 bidang mulai dari ujung Jalan Nangka yang berbatasan dengan Jalan Raya Bogor hingga dekat pabrik minuman dalam kemasan yang telah dibayarkan pembayaran ganti ruginya.

“Dari ujung udah dibayar, dan variatif tergantung bentuk bangunannya, kalau yang bangunannya tingkat harganya lebih tinggi mencapai Rp 11 juta per meter, sedangkan lahan kosong kurang lebih Rp 5,5 juta per meter,” beber pria tersebut.

AI mengaku, merelakan tanahnya tersebut, selain tergiur dengan nominalnya juga karena Dinas PUPR (dahulu Dinas BMSDA) Kota Depok, membujuknya untuk mengentaskan macet yang kerap terjadi di jalan itu.

“Dulu bilangnya buat pelebaran jalan, karena sering macet. Kalau buat kepentingan umum, kenapa enggak sih, apalagi nominalnya juga lumayan,” bebernya.

Dengan penuh pertanyaan dengan kasus tersebut, dia menceritakan awal mula hingga terima uang ganti rugi tersebut. AI membeberkan, tepatnya 2015, dia bersama puluhan warga lainnya diundang ke Dinas PUPR.

“Saya diundang ke sana (Dinas PUPR) setelah dijelaskan terus ditanya. Mau tanda tangan atau tidak, kalau nggak mau tanda tangan suruh pulang,” ceritanya.

Tanpa berfikir panjang, AI langsung menandatangani akta jual beli dan langsung ditransfer keuangannya melalui Bank BJB. Namun, tetap ada beberapa masyarakat yang menolak dan meminta harga lebih tinggi.

“Saya tandatangan aja, tapi setelah itu tidak ada lagi follow up dari dinas kapan pelaksanaannya,” lanjut dia.

Tak ingin ambil pusing, AI pun akhirnya membongkar sendiri rumahnya yang telah dibayarkan oleh pemerintah.

“Karena sudah bukan hak saya ya udah saya bongkar sendiri, eh ternyata begini kejadiannya, saya dipanggil polisi sebanyak dua kali untuk dijadikan saksi,” pungkasnya.

Menurut pegawai kelurahan setempat, selain rumah yang telah dibayarkan, ada beberapa rumah yang telah diukur namun belum mendapatkan ganti rugi.

“Ada kurang lebih 17 bidang tanah lagi yang sudah diukur, tapi belum dibayarkan alasannya belum cocok harganya,” kata pria yang bertugas sebagai operator di Kelurahan Sukamaju Baru, Tapos tersebut.

Kontributor : Supriyadi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI