Suara.com - Guru besar hukum pidana dari UGM, Prof Eddy OS Hiariej yang diajukan sebagai saksi ahli oleh PT Geo Dipa Energi (Persero) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai, langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan bantuan informasi terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan termasuk upaya tipu muslihat.
Ungkapan tersebut dikatakannya berkaitan dengan sidang sebelumnya, dimana pihak Bumigas yang bersengketa dengan Geo Dipa menuding adanya tipu muslihat dalam keputusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan mempersoalkan surat yang dikeluarkan oleh KPK.
"Surat KPK tidak memenuhi kategori adanya tipu muslihat karena KPK mempunyai berbagai kewenangan yang sangat luas. Termasuk melakukan pengawasan, pencegahan, dan penyelidikan, serta memberikan informasi yang diperlukan yang diajukan oleh BUMN karena kegiatan BUMN ada dalam ranah pengawasan KPK," kata Eddy dalam keterangannya, Selasa (21/8/2018).
Menurut Eddy, secara hukum surat KPK harus dianggap sah dan benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya melalui proses Pengadilan yang berwenang, bukan PN Jakarta Selatan dalam perkara ini.
Terkait dengan Surat KPK, bagi Eddy, selama itu dikeluarkan oleh institusi resmi dan dalam bentuk resmi, tidak mungkin dianggap tipu muslihat. Sebaliknya surat itu memiliki nilai kekuatan sesuai dengan isinya.
Sementara itu, mantan Hakim Agung Dr Susanti Adi Nugroho SH MH juga menyatakan, tidak dapat dikatakan terdapat tipu muslihat apabila suatu pihak mengajukan dokumen pada masa sidang pembuktian di lembaga arbitrase, termasuk surat yang dikeluarkan oleh KPK.
"Jadi adanya surat KPK tidak dapat dikategorikan adanya tipu muslihat, apalagi oleh BUMN yang berada dalam ranah pengawasan KPK," kata Susanti.
Susanti menjelaskan, kesakralan dari klausul arbitrase dalam suatu perjanjian. Ketika para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan di antara keduanya melalui arbitrase, maka PN tidak boleh campur tangan untuk memeriksa sengketa tersebut.
"Apalagi kalau perkaranya sudah pernah diperiksa dan diputus oleh lembaga arbitrase. UU Arbitrase tidak hanya melarang campir tangan pengadilan, tapi juga menghilangkan hak para pihak untuk bawa perkaranya ke pengadilan," katanya.
Menurut Susanti, memang UU Arbitrase memungkinkan PN untuk memeriksa perkara pembatalan putusan arbitrase, tapi hal itu diatur secara limitatif dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan tidak bisa dijadikan cantolan untuk pemeriksaan ulang sengketa di PN.
Dia menambahkan, PN juga tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili sendiri, apalagi atas sesuatu yang tidak pernah diminta sebelumnya. Harusnya pihak tersebut memintanya di proses arbitrase sebagai lembaga yang berwenang, bukan di PN.