Suara.com - Kementerian Keuangan menerbitkan aturan terkait pengaturan tarif cukai hasil tembakau dalam PMK 146 tahun 2017. Penerbitan baleid ini mendapat kritik dari beberapa pihak dan juga pelaku usaha atau Industri Hasil Tembakau (IHT) karena dapat memunculkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, dengan adanya aturan tersebut justru membuat persaingan usaha di Indonesia menjadi tidak sehat.
Menurut Enny, kekhawatiran ini muncul lantaran pemerintah berencana menggolongkan industri berdasarkan kapasitas produksi. Padahal langkah ini berpotensi menghilangkan industri yang memiliki modal kecil.
“PMK ini yang pertama 2019 ini kan akan penggabungan 2A dan 2B menjadi satu golongan, golongan 2A. Tentu 2A dan 2B dimaknai antara menengah dan kecil, kalau digabungkan dikhawatirkan yang kecil-kecil ini secara persaingan usaha kalah dengan menengah. Sehingga ini membuat industri kelompok kecil akan tersisih," ujar Enny di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Baca Juga: Jerman Angkat Bicara Soal Produk Tembakau Alternatif
Dalam roadmap tersebut, pemerintah menyederhanakan layer tarif rokok setiap tahun berturut-turut menjadi 10, 8, 6, dan menjadi 5 layer di tahun 2021. Sedangkan di 2017 lalu, tarif cukai rokok terdiri 12 layer.
Dia menjelaskan, beberapa skenario kemungkinan mengenai dampak penggabungan struktur tarif SKM membuat golongan 2B membangun holding atau merger antara satu dengan yang lainnya sehingga skala produksi dapat terpenuhi dan kontinuitas bisnis dapat berjalan.
“Dampak negatif yang paling tidak diharapkan adalah para pelaku usaha di golongan 2B beralih ke produksi rokok ilegal yang tentu semakin merugikan pemerintah," jelasnya.
Selain itu, penggabungan tarif cukai antara Sigaret Putih Mesin (SPM) dan SKM, dapat menghilangkan ciri khas Indonesia yang sebagai rokok yang meggunakan bahan baku lokal, yakni cengkeh dan tembakau. Sedangkan SPM menggunakan bahan baku impor.
“Sehingga ini yang menimbulkan banyak pertanyaan kalau memang pemerintah ini menganggap kretek bisa berpotensi, menjadi produk unggulan ekspor, mestinya tidak disamakan dengan rokok putih, karena rokok putih ini berbeda memang," tegas Enny.
Baca Juga: Datangkan Bahan Tembakau Gorilla, Supir Travel di Bali Diringkus