Suara.com - Inspektur Jenderal Kementerian PUPR Widiarto menerangkan jika hingga saat ini tidak ada instruksi khusus kepada Kementerian PUPR untuk menunda proyek infrastruktur.
“Kementerian PUPR merupakan salah satu kementerian dengan anggaran yang paling besar. Hal itu karena memang dalam 5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, infrastruktur menjadi tumpuan pembangunan. Baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maupun penciptaan lapangan kerja,” kata Widiarto di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta Pusat, Jumat (10/8/2018).
Widiarto menjelaskan, untuk 2018 PUPR memperoleh anggaran Rp 107 triliun. Dan pada 2019, sambung dia, akan naik menjadi Rp 110 triliun.
Kendati begitu dengan total anggaran tersebut, Widiarto mengakui, pihaknya memang akan melakukan efisiensi. Khususnya yang terkait dengan belanja anggaran.
“Dalam rangka efiesiensi belanja anggaran, PUPR menghemat belanja barang dan melakukan shifting ke belanja modal atau ke belanja yang lebih produktif. Namun tidak ada instruksi untuk menunda, infrastruktur jalan terus, tidak ada yang direm,” katanya.
Widiarto menjelaskan, di Kementerian PUPR, ada tiga jenis belanja anggaran. Yakni, belanja barang operasional, belanja non operasional, dan belanja yang berkarakter modal.
“Belanja berkarakter modal contohnya, infrastuktur yang diserahkan ke masyarakat, seperti rumah swadaya. Dan ini yang memang akan diperbesar,” katanya.
Sedangkan, menurutnya, belanja yang akan cenderung dikurangi adalah belanja barang non operasional, yakni berupa studi, kajian, workshop.
“Untuk belanja jenis ini, pengurangan setahun sekitar 15 persen,” katanya.
Lebih jauh Widiarto mengatakan, total prosentase belanja modal PUPR pada 2018 mencapai angka 81 persen. Sedangkan pada 2019, sambung dia, meningkat hingga 83 persen.
“Untuk 2019 berusaha untuk shifting belanja barang non operasional, ke belanja yang lebih produktif, jumlahnya sebanyak Rp 4 triliun yang akan di-refocusing ke belanja modal dan berkarakter modal,” jelasnya.
Di antara kandungan lokal dalam komponen infrastruktur, Widiarto mengatakan, baja merupakan salah satu yang masih diimpor. Namun, kata dia, itupun sedikit sekali karena hanya untuk profil baja khusus.
“Pada 2018, komponen utama pembangunan infrastruktur totally dari kita, khususnya semen. Termasuk beton pracetak, dari kita semua. Jadi kita tidak ada pengaruh dari impor barang, sehingga tidak ada instruksi penundaan,” ujarnya.
Widiarto menambahkan, terkait TKDN di Perpres 16/2016 tentang Pengadaan Barang Jasa, ada amanat untuk memberi reward bagi peserta tender dengan kandungan lokal dengan nilai tertentu.
“Sehingga itu diperhitungkan dalam penawarannya. Supaya tidak ada ketergantungan impor. Sedangkan minimal TKDN itu 25 persen,” pungkasnya.