Suara.com - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, dalam pengelolaan bisnis minyak dan gas bumi memerlukan langkah strategis untuk mencegah kerugian bagi negara.
Apalagi selama ini skema kontrak bagi hasil Cost Recovery cukup membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan, pada 2015 dan 2016 Cost Recovery mencatatkan angka yang lebih besar dari penerimaan pemerintah di sektor migas, inefisiensi kontraktor yang mengganggu APBN.
Melihat kondisi tersebut, salah satu upaya peningkatan pengelolaan bisnis migas yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah skema kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) Cost Recovery menjadi Gross Split.
Perubahan ini ditujukan agar para kontraktor mampu melakukan efisiensi mulai dari proses eksplorasi hingga eksploitasi dan pengembangan lainnya.
"Menurut hemat saya, berbisnis di migas itu ada semacam adagium fairness and justice for all (keadilan untuk semua pihak). Kita harus fair, kalau investor mau masuk, seharusnya dengan margin yang wajar, bukan yang eksesif (berlebihan)," ujar Arcandra di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (10/8/2018).
Selain itu, Arcandra juga menyarankan kepada para pelaku bisnis migas untuk memilih penggunaan teknologi yang tepat. Pemerintah tidak ingin kebebasan pemilihan teknologi justru membuat perusahaan migas semakin tidak efisien dalam segi pembiayaan.
“Mohon pakai teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lapangan," ujarnya.
Dengan demikian, Arcandra meyakini dengan cara tersebut dapat membuat pengelolaan bisnis di sektor migas dapat berjalan dengan baik.