Suara.com - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengkritik pemerintahan kabinet kerja. Dia menyentil soal kondisi utang Indonesia. Kementerian Keuangan pun buka suara.
Dalam acara pertemuan dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan di Jl Widya Chandra IV, Jakarta, Senin (25/6/2018). Prabowo diberikan kesempatan untuk memaparkan kondisi ekonomi Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menyebut total utang RI sampai hari ini hampir Rp 9.000 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti Kementerian Keuangan menjelaskan sekaligus menjawab terkait pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pasca pertemuannya dengan Ketua MPR di Widya Chandra, pada 25 Juni 2018 yang mengatakan bahwa utang Indonesia sudah sangat membahayakan.
Frans mengatakan bahwa jumlah utang yang disebut oleh Prabowo sebesar Rp9000 triliun sangat jauh dari jumlah utang yang sebenarnya yakni sebesar Rp8.540 triliun. Secara rinci dijelaskan bahwa utang pemerintah pusat sebesar Rp4.060 triliun.
Baca Juga: Prabowo Kritik Jokowi: Utang Indonesia Capai Rp 3000 Triliun
Selain utang pemerintah, ada utang lembaga keuangan milik pemerintah dan utang-utang BUMN yakni utang BUMN Non-lembaga keuangan sebesar Rp630 triliun dan BUMN lembaga keuangan (termasuk Bank BUMN) sebesar Rp 3.850 triliun.
"Jumlah total utang adalah sebesar Rp 8.540 triliun. Sangat jauh dari Rp 9.000 triliun yang disampaikan Pak Prabowo," ungkapnya dikutip dari pernyataan resminya Kamis (28/6/2018).
Ia menambahkan, untuk utang BUMN lembaga keuangan yang terdiri dari Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN sebesar Rp 3.850 triliun itu sebagian besar sekitar 80 persen atau hampir Rp 3.000 triliun adalah dana pihak ketiga (DPK).
"Yaitu dana masyarakat, perusahaan yang menempatkan dana di perbankan yang selain untuk tujuan menabung, dana tersebut justru menjadi instrumen pendanaan investasi produktif perekonomian," ujarnya.
Ia menjelaskan, utang BUMN non lembaga keuangan merupakan utang BUMN dalam melaksanakan kegiatan usaha BUMN, termasuk membangun infrastruktur seperti pembangkit dan transmisi listrik, jalan tol, pelabuhan laut dan udara dan kegiatan produktif BUMN lainnya.
Baca Juga: BI: Utang Luar Negeri Indonesia Naik 7,6 Persen
Besaran utang tersebut dipisahkan dari utang pemerintah dan tidak menjadi bagian darinya.
"Utang BUMN merupakan kekayaan dan kewajiban yang dipisahkan sesuai UU Keuangan Negara dan tidak otomatis menjadi tanggungan pemerintah," tulis Frans.
"Utang BUMN menjadi kewajiban BUMN untuk melunasinya, dan secara korporasi dijamin oleh aset BUMN yang bersangkutan. Untuk utang BUMN yang mendapat jaminan pemerintah, dikelola secara hati-hati dan dikendalikan secara disiplin serta dilaporkan secara terbuka dan transparan," tambahnya.
Dia juga memaparkan, bahwa dalam menghitung tingkat resiko utang maka ukurannya adalah dibandingkan dengan kemampuan membayarnya. Untuk utang pemerintah ukurannya adalah kapasitas ekonomi (PDB) dan rasio kewajiban cicilan dan bunga terhadap penerimaan negara. Sedangkan utang korporat diukur terhadap aset dan arus penerimaan.
"Sebagai tokoh politik yang memiliki perusahaan, Pak Prabowo tentu paham bahwa adalah hal yang normal bagi sebuah perusahaan untuk melakukan utang - bahkan semua perusahaan untuk melakukan operasi usaha dan Invetasi hampir selalu menggunakan pembiayaan utang, maka dikenal kredit modal kerja dan kredit Invetasi," tambahnya.
Menurutnya, utang sepanjang digunakan untuk melakukan hal produktif dan menghasilkan penerimaan kembali, maka kewajiban tersebut akan dapat dibayarkan kembali.
Sehingga dia menegaskan bahwa utang bukan tujuan, dan utang juga bukan momok yang nampaknya sering digunakan sebagai komoditas politik untuk menakuti rakyat.
Oleh karena itu, kebijakan utang dan pengelolaan keuangan negara diawasi oleh berbagai lembaga mulai dari DPR, BPK, Kreditor hingga lembaga pemeringkat independen di tingkat global seperti Moodys, Fitch S&P, JCRA (Japan Credit Rating Agency) serta R&I (Rating & Investment).
"Utang negara juga selalu dilakukan setelah melalui pembahasan dan persetujuan DPR melalui pengesahan UU APBN setiap tahunnya. Pengelolaannya selalu diawasi oleh DPR dan tetap dalam batas-batas yang telah diatur dalam UU Keuangan Negara," pungkasnya.
Terkait dengan pernyataan Pak Prabowo yang mengutip lembaga pemeringkat Moodys yang disebutkan situasi Indonesia “bahaya”, menurut Frans, lembaga pemeringkat Moodys justru telah menaikkan rating utang Indonesia dari Baa3/outlook positif menjadi Baa2/outlook stabil pada bulan April 2018. Rating tersebut adalah rating tertinggi yang pernah diberikan Moodys kepada Indonesia selama ini.
"Pemerintah Indonesia senantiasa mengelola APBN dengan transparan, profesional, berhati-hati dan bertanggung jawab. Hal ini dilakukan sebagai pertanggungjawaban publik yang telah diatur oleh UU, dan untuk menjaga perekonomian Indonesia tumbuh dan berkembang secara sehat, adil, merata dan berkelanjutan," katanya.