"Utang BUMN merupakan kekayaan dan kewajiban yang dipisahkan sesuai UU Keuangan Negara dan tidak otomatis menjadi tanggungan pemerintah," tulis Frans.
"Utang BUMN menjadi kewajiban BUMN untuk melunasinya, dan secara korporasi dijamin oleh aset BUMN yang bersangkutan. Untuk utang BUMN yang mendapat jaminan pemerintah, dikelola secara hati-hati dan dikendalikan secara disiplin serta dilaporkan secara terbuka dan transparan," tambahnya.
Dia juga memaparkan, bahwa dalam menghitung tingkat resiko utang maka ukurannya adalah dibandingkan dengan kemampuan membayarnya. Untuk utang pemerintah ukurannya adalah kapasitas ekonomi (PDB) dan rasio kewajiban cicilan dan bunga terhadap penerimaan negara. Sedangkan utang korporat diukur terhadap aset dan arus penerimaan.
"Sebagai tokoh politik yang memiliki perusahaan, Pak Prabowo tentu paham bahwa adalah hal yang normal bagi sebuah perusahaan untuk melakukan utang - bahkan semua perusahaan untuk melakukan operasi usaha dan Invetasi hampir selalu menggunakan pembiayaan utang, maka dikenal kredit modal kerja dan kredit Invetasi," tambahnya.
Baca Juga: Prabowo Kritik Jokowi: Utang Indonesia Capai Rp 3000 Triliun
Menurutnya, utang sepanjang digunakan untuk melakukan hal produktif dan menghasilkan penerimaan kembali, maka kewajiban tersebut akan dapat dibayarkan kembali.
Sehingga dia menegaskan bahwa utang bukan tujuan, dan utang juga bukan momok yang nampaknya sering digunakan sebagai komoditas politik untuk menakuti rakyat.
Oleh karena itu, kebijakan utang dan pengelolaan keuangan negara diawasi oleh berbagai lembaga mulai dari DPR, BPK, Kreditor hingga lembaga pemeringkat independen di tingkat global seperti Moodys, Fitch S&P, JCRA (Japan Credit Rating Agency) serta R&I (Rating & Investment).
"Utang negara juga selalu dilakukan setelah melalui pembahasan dan persetujuan DPR melalui pengesahan UU APBN setiap tahunnya. Pengelolaannya selalu diawasi oleh DPR dan tetap dalam batas-batas yang telah diatur dalam UU Keuangan Negara," pungkasnya.
Terkait dengan pernyataan Pak Prabowo yang mengutip lembaga pemeringkat Moodys yang disebutkan situasi Indonesia “bahaya”, menurut Frans, lembaga pemeringkat Moodys justru telah menaikkan rating utang Indonesia dari Baa3/outlook positif menjadi Baa2/outlook stabil pada bulan April 2018. Rating tersebut adalah rating tertinggi yang pernah diberikan Moodys kepada Indonesia selama ini.
Baca Juga: BI: Utang Luar Negeri Indonesia Naik 7,6 Persen
"Pemerintah Indonesia senantiasa mengelola APBN dengan transparan, profesional, berhati-hati dan bertanggung jawab. Hal ini dilakukan sebagai pertanggungjawaban publik yang telah diatur oleh UU, dan untuk menjaga perekonomian Indonesia tumbuh dan berkembang secara sehat, adil, merata dan berkelanjutan," katanya.