Merujuk data BPS, per September 2017, jumlah masyarakat miskin Indonesia adalah sekitar 26,6 juta, atau sekitar 10,12% dari total jumlah penduduk.
Persoalannya adalah parameter penduduk miskin ini menggunakan batas garis kemiskinan yang sangat kecil, yakni Rp 400.995 untuk masyarakat perkotaan dan Rp 370.910 untuk warga pedesaan.
Tapi jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan, yaitu pendapatan sebesar 2 dolar AS per hari per orang, maka penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi, yakni di perkirakan mencapai 47% atau 120 juta jiwa dari total populasi.
“Batasan garis kemiskinan Rp 400.000 ini terlalu rendah, karena orang kota dengan penghasilan Rp 500.000 sudah dianggap tidak miskin, yang bahkan belum tentu cukup untuk kebutuhan dasar. Padahal kebutuhan manusia itu bukan makan saja tapi juga pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, juga rekreasi dan hiburan,” papar Farouk.
Baca Juga: Anaknya Kalah Pilgub, SBY : Ada Oknum BIN, TNI, Polri Tak Netral
Tingkat kesenjangan sosial ini berpotensi semakin dalam ketika sekelompok kecil elite semakin kaya, sedangkan kebanyakan rakyat banyak menanggung beban ekonomi.
Sikap pemerintah yang menganak emaskan birokrat dengan kenaikan gaji, tunjangan, dan bonus bisa jadi berimbas pada semakin parahnya kesenjangan sosial. Sebab rakyat biasa pada umumnya tidak mengalami peningkatan pendapatan yang memadai setiap tahun.
Sedangkan gaji para pejabat negara di pemerintahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, direksi dan komisaris BUMN, serta lembaga negara lainnya yang fantastik justru akan berpotensi memantik konflik dan kecemburuan sosial.
Struktur penggajian institusi negara sebenarnya juga memperburuk kondisi ketimpangan sosial, bayangkan saja, gaji pejabat negara seperti direktur utama BPJS Kesehatan, Gubernur Bank Indonesia, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan yang sudah menyentuh diatas Rp 200 juta per bulan.
Bahkan pernah disinyalir bahwa penghasilan Gubernur BI melebihi penghasilan dari Federal Reserve Chairman Amerika Serikat. Padahal GDP per kapita Indonesia hanya sekitar 6,6% dari GDP per kapita Amerika Serikat.
Belum lagi struktur penggajian yang fantastis dari banyak direktur dan komisaris BUMN. Bahkan belum lama ini juga mencuat polemik penggajian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mencapai Rp 100 juta per bulan, belum lagi kasak kusuk total remunerasi kalangan anggota dewan di Senayan, yang dalam setahun bisa mencapai miliaran.
Baca Juga: Ngeri! Dokter RS Permata Hijau Disebut Berupaya Bunuh Setnov
Sebagian mungkin berpendapat bahwa besarnya gaji sebanding dengan posisi vital dan beban tanggung jawab yang dipikul sangat berat dan rawan konflik kepentingan.