Suara.com - Di seberang jalan, lelaki paruh baya itu tampak awas. Dengan langkah gontai ia menyeberang sembari menggerakkan tangannya sebagai kode kepada para pengendara untuk memperlambat laju kendaraan mereka.
Jalan nasional kawasan Gampong (Desa) Rundeng Meulaboh, Aceh Barat, memang padat arus lalu lintas.
Sesampai di seberang, lelaki itu menuju ke samping salah satu ruko. Lima menit kemudian ia kembali muncul dari samping ruko seraya membawa beberapa kardus dan plastik bekas.
Kardus dan plastik bekas tersebut ia tumpuk di atas becak miliknya yang diparkir tak jauh dari tempat itu.
Baca Juga: Intip Bisnis Dimsum Milik Difabel Cantik Asal Gresik
Lelaki itu adalah Rohim kelahiran Banyumas, Provinsi Jawa Tengah yang akrab disapa Lek Rohim.
Keseharian Lek Rohim diisi dengan mencari kardus dan plastik bekas. Pekerjaannya itu sudah cukup lama ia geluti.
Sebelumnya, ia pernah menjadi seorang pengayuh becak. Ia banting setir menjadi pencari kardus dan plastik bekas sejak 2005 atau pascagempa dan tsunami 2004.
Setahun lalu ia masih kuat mencari kardus dan plastik bekas hingga pukul 02.00 WIB dinihari. Namun karena tubuhnya kian ringkih dan melemah, kini ia lebih cepat pulang ke rumah.
Menjadi pencari kardus dan plastik bekas tak ubah layaknya pemulung. Lek Rohim mesti mengais dan membongkar tempat-tempat sampah untuk mendapatkannya.
Tidak mudah menemukan kardus dan plastik bekas untuk saat ini. Terlebih karena dianggap memiliki nilai ekonomi, tidak jarang para pemilik kedai atau toko menumpuk kardus bekas package barang dagangan mereka untuk kemudian menjualnya kepada penadah.
Baca Juga: Ratusan Pemudik Asal Surabaya Batalkan Tiket Kereta Api
Meski hanya dihargai Rp 1.400 per kilogram, jika bobotnya hingga ratusan kilogram, maka uang yang akan didapat dari hasil menjual kardus bekas tentunya cukup menggiurkan.
Lek Rohim bermodal becak barang yang sudah "butut" juga harus bersaing dengan para pengumpul kardus dan plastis bekas lainnya. Kebanyakan dari mereka menggunakan becak motor. Tidak seperti Lek Rohim.
Lek Rohim kemudian menjual kardus dan plastik bekas kepada penadah di Jalan Terminal Meulaboh. Hasil penjualan kardus dan plastik bekas tersebut memang tidak seberapa. Namun Lek Rohim mengaku bersyukur.
"Per kilonya, kalau kardus Rp 1.400. Kalau plastik itu Rp 2.000. Sehari bisa dapat Rp 30.000, kadang lebih," ujar Lek Rohim saat ditemui di samping sebuah kedai kopi di perempatan lampu merah Jalan Nasional kawasan Gampong Rundeng, Meulaboh.
Di tempat itu, menjelang sore biasanya Lek Rohim akan melepas penat seraya minum kopi sesaat setelah menunaikan salat Ashar berjemaah di Masjid An-Nur yang terletak di seberang jalan. Namun, bulan puasa, kedai tutup.
Portalsatu.com jaringan Suara.com mewawancarai pria 53 tahun itu ketika ia baru saja selesai menumpuk kardus dan plastik bekas yang dipungut dari samping ruko tadi ke atas becaknya.
Lelaki yang lahir tahun 1964 ini menceritakan, ia datang ke Aceh dari kampung halamannya sejak 1999 silam. Sebelum gempa dan tsunami melanda Aceh, Desember 2004 silam, ia bersama istrinya, Lili, tinggal di Lorong Kuini, Desa Ujung Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Pascabencana tersebut, Lek Rohim menjadi salah seorang penerima rumah bantuan dari Yayasan Cinta Kasih Tzu Chi di Gampong Peunaga Paya atau saat ini Gampong Persiapan Peunaga Baro, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat.
"Tapi sekarang sudah kita jual rumah bantuannya. Cuma Rp 15 juta karena butuh duit terpaksa segitu kita jual. Ya mau bagaimana lagi," ujarnya sembari tersenyum menutupi rasa kecewanya karena telah menjual rumah yang menurut informasi, normalnya dihargai hingga Rp 50 juta lebih.
Setelah menjual rumahnya, Lek Rohim pindah ke Lorong Puyuh, Gampong Rundeng, Meulaboh.
Di rumah berukuran kira-kira 15x5 meter yang sudah ditempatinya sejak lima tahun lalu itu, tidak terlihat perabotan sama sekali, apalagi peralatan elektronik seperti televisi. Di rumah inilah Lek Rohim tinggal bersama istri dan salah satu anaknya.
Rumah Lek Rohim sebanjar dengan 10 rumah lainnya yang juga serupa. Rumah-rumah itu berkonstruksi kayu yang sudah tak belia lagi. Dindingnya tampak rapuh dan lantainya membumi. Sementara di sekelilingnya terdapat rumah-rumah permanen.
"Sebulan kita sewa Rp 250.000. Sudah lima tahun kita sewa," sebutnya.
Hasil jerih payah menjual kardus dan plastik bekas kerap ia sisihkan untuk uang sewa rumah. Selebihnya ia serahkan kepada istrinya, Lili, untuk dibelanjakan buat makan mereka sehari-hari.
Lili adalah penyandang disabilitas. Sehari-hari ia harus memakai tongkat untuk menopang salah satu pijakan kakinya. Dari hasil pernikahannya dengan perempuan 32 tahun itu, Lek Rohim dikaruniai dua orang anak.
Pertama Ruslia Danil (18), saat ini menjadi buruh di salah satu kebun kelapa sawit di Nagan Raya, dan seorang lagi Ihsan (14) yang kesehariannya sebagai juru parkir di area pertokoan di Jalan Nasional Meulaboh, tepatnya di samping pusat rekreasi keluarga, "Funland."
Ditanya sudah berapa lama ia bekerja sebagai juru parkir, Ihsan menjawab, "enam tahun, bang!".
"Kalau bulan puasa lebih cepat pulang kerjanya, bang. Lagi pula bulan puasa tidak terlalu ada orang (kendaraan, red), karena di situ ada rumah makan dan tutup karena puasa. Paling dari yang kerja Bank Mandiri Syariah karena buka," sambungnya.
Hingga saat ini Ihsan mengaku belum terpikir soal baju baru untuk hari raya Idul Fitri 1439 Hijriah yang sudah di depan mata.
Menurut bocah yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 9 Meulaboh tapi kandas sebelum beranjak ke kelas IV ini, soal baju lebaran ia serahkan kepada orangtuanya.
"Itu tidak tahu bang. Belum ada kabar dari mamak (ibu)," kata Ihsan.
Jawaban tersebut tak jauh berbeda dengan yang dituturkan Lek Rohim. Perihal baju lebaran untuk anaknya memang sudah ia serahkan sepenuhnya kepada sang istri.
"Walah, itu tidak tahu. Sudah kita serahkan ke si mamak. Nah, kalau saya sih enggak ada baju lebaran, itu sudah biasa dari dulu," ucap Lek Rohim.
Bagi Lek Rohim, tak perlu malu untuk terlihat apa adanya. Ia sadar betul bagaimana kondisi keluarganya. Namun ia mengaku memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja demi menghidupi keluarga kecilnya itu.
"Modal utama itulah rajin, kalau enggak, makan dari mana kita," ujarnya yang tak mau begitu menyerah dengan kerasnya kehidupan ini.
Menurutnya, terpenting saat ini tidak lupa beribadah. "Kita mau minta tolong sama siapa nanti di akhirat? Apa kita mau terus-terusan melupakan kewajiban. Kalau mati besok bagaimana?" kata Lek Rohim, tegas.
Di bawah topi berlabel salah satu merek kopi yang dikenakannya itu, tampak mata Lek Rohim sedang menerawang begitu jauh.
Tatapannya melewati trotoar-trotoar jalan, singgah di baliho-baliho milik partai, di papan nama pertokoan, menyela di roda-roda kendaraan milik para pengendara.
Sekitar dua ratusan meter dari tempat itu terdapat pusat perbelanjaan pakaian jadi. Menjelang sore, para pengunjung pusat pakaian jadi itu kian membludak. Halaman depan ruko penuh sesak oleh kendaraan roda dua dan empat.
Maklum, beberapa hari lagi lebaran tiba. Ramai orang berduyun-duyun membeli baju baru untuk dikenakan saat hari raya. Lantas, bagaimana dengan Lek Rohim dan keluarganya?
Berita ini sebelumnya dimuat juga di https://portalsatu.com/read/feature/lek-rohim-pencari-kardus-bekas-anaknya-bilang-belum-ada-kabar-baju-lebaran-43028 jaringan Suara.com.