Ia mencontohkan, dalam APBN 2018 yang telah disetujui DPR, utang merupakan konsekuensi dari defisit APBN sebesar Rp 325,9 triliun. Pemenuhan kebutuhan pembiayaan tersebut dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan penarikan pinjaman.
Mengenai kondisi nilai tukar Rupiah yang melemah, Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa kondisi global sendiri sedang mengalami sedikit goncangan sebagai akibat kebijakan fiskal dan moneter di Amerika Serikat.
"Yang pertama adalah pengumuman kebijakan moneter akan rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS yang melebihi frekuensi biasanya. Lalu ada kebijakan pemangkasan tarif pajak sebagai bagian kebijakan fiskal di AS. Ini semua menyebabkan arus modal yang tadinya tersebar di beberapa negara akan berbalik menuju ke AS. Sehingga terjadi penguatan nilai dolar Amerika Serikat terhadap hampir semua mata uang dunia (broadbase). Jadi hal ini tidak terjadi hanya di Indonesia saja, tapi juga di banyak negara," terang Nufransa.
Ia pun mengklaim, fundamental perekonomian negara kita yang kuat justru menyebabkan nilai Rupiah masih bisa bertahan dengan baik. Walaupun menembus Rp 14.000, kalau dilihat dari persentase depresiasi dibandingkan posisi akhir 2017, Rupiah masih terdepresiasi di seputaran 3,88 persen. Persentase depresiasi ini masih lebih kuat bila dibandingkan Rusia (9 persen), Brazil (9 persen) dan Filippina (4 persen).
Cadangan devisa Indonesia per akhir April 2018 juga masih berada pada nilai 124,86 miliar dolar AS. Ini setara dengan 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Inilah antara lain menurutnya yang menunjukkan fundamental Indonesia masih sangat kuat.
"Dinamika perekonomian global juga ditandai adanya perang dagang Amerika dan Cina, konflik geopolitik, dan konflik Amerika vs Iran. Kondisi ini juga berdampak negatif pada pasar keuangan dalam negeri," imbuhnya.
"Dalam 3 kali lelang terakhir, pemerintah mengambil penawaran yang masuk lebih rendah dari target indikatif yang diumumkan, terutama mengingat incoming bids yang relatif rendah karena investor cenderung wait and see terhadap perkembangan pasar keuangan global dan domestik," tutur dia lagi.