Berdasarkan master plan Jabodebek 80-an, proyek pengembangan perumahan yang boleh dibangun berada pada bagian barat dan timur. Hal ini memicu perkembangan properti skala besar yang tumbuh di kota sekitar seperti di Deltamas, BSD, 3 Raksa, Cikarang, Sentul dan lain-lain.
Selain adanya pengembangan kawasana industri, pembangunan jalan tol juga memberikan sumbangan terhadap perkembangan properti skala besar dan pusat hunian baru bermunculan pada kota-kota sekitar Jakarta. Kemacetan akibat urban sprawling dan belum terpenuhinya permukiman layak huni yang disebabkan ketimpangan suplai demand dalam penyediaan pemukiman.
Salah satu kendalanya adalah proses pengadaan lahan dan rendahnya keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah untuk membangun atau membeli rumah. Hal ini dibuktikan pada 2016 rumah tak layak layak huni mencapai 2,5 juta.
Pembangunan yang kurang terencana dan menjalar, urban sprawling dengan tidak disertai terintegrasi nya sistem transportasi massal turut menyumbang kemacetan lalin. Jumlah komuter 3,5 juta per hari belum terwadahi dalam transportasi publik yang terintegritas sehingga sebagian besar komuter pakai kendaraan pribadi, 62,9 persen motor, 17,4 persen mobil dan 16,7 persen kendaraan umum.
Rasio panjang jalan yang masih rendah dibandingkan metropolitan lain di dunia juga menjadi persoalan. Di Jakarta sendiri panjang jalan rasionya 7persen. Bandingan dengan Singapura 12 persen, New York 18 persen, Tokyo 20 persen. Lalu, saat ini 12,9 persen kawasan terbangun di Jabodetabekpunjur berada pada daerah dengan kelas kemampuan lahan yang sangat rendah untuk pengembangan.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti lahan hunian sampai lakukan reklamasi, membangun berbagai infrastruktur angkutan massal, MRT, LRT, busway, rencana pembangunan water ways Cikarang-Bekasi, TOD dan pengendalian banjir. Hal itu untuk atasi dinamoka di kawasan Jabodetabekpunjur sekaligus akomodir kebijakan nasional yang telah ditetapkan dalam proyek startegis nasional.
Ini menuntut dilakukan revisi 54/2008 tentang pengawasan ruang Jabodetabekpunjur untuk akomodir berbagai upaya atau rencana yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sehingga rencana dan upaya itu tidak terkendala. Sejalan amanat uu 26/2007 dapat dilakukan peninjauan kembali atas perencanaan tata ruang setelah 5 tahun. Revisi ini akan menekankan keterpaduan rencana hulu, tengah dan hilir termasuk pesisir Jabodetabek.
Prinsip keterpaduan berdasarkan aspek daya dukung dan daya tampung mutlak karena perekonomian tidak bisa berkelanjutan jika mengabaikan aspek-aspek lingkungan. Kawasan hulu akan berperan sebagi kawasan lindung dan serapan air, tengah penyanggah dan serapan air, hilir kawasan budidaya, pesisir sebagai perlindungan. Pembagian peran ini menjadi salah satu strategi penataan ruang dalam meningkatkan aspek perekonomian Jabodetabekpunjur.
Dengan revisi tata ruang diharap dapat menjadi acuan bagi sektor dan pemerintah daerah dalam mewujudkan kawasan Jabodetabekpunjur kawasan yang terintegritas, nyaman dihuni menjadi counter magnet ekonomi dan investasi nasional yang bertaraf internasional namun memiliki keberlanjutan lingkungan di masa mendatang
Terakhir, ujarnya, pemikiran yang cermat dan baik diperlukan mengingat hampir seperempat lahan pertanian telah dikonversi menjadi non pertanian. Pemerintah akan merumuskan kebijakan yang jelas mengenai perseoalan ini. Namun kebijakan ini tak bisa lepas konteks nasional mengenai konversi lahan pertanian, termasuk di Pulau Jawa.