Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur memiliki alasan yang sangat kuat setelah sekian tahun. Sebetulnya, dalam lima tahun pun sudah boleh dilakukan perubahan dari tata ruang suatu wilayah. Apalagi Jakarta dan sekitarnyamenjasi pusat kegiatan ekonomi, politik budaya di Indonesia.
Sejak lama pemerintah memberi perhatian sangat khusus pada kawasan Jabodetabekpunjur atau kawasan metropolitan Jakarta ini dengan diterbitkannya perpres 54/2008. Tujuannya mengatasi penataan ruang dari hulu, tengah, Cianjur, Puncak, Bogor, Depok sampai Bekasi, Tangerang, Jakarta yang seusai daya dukung dan daya tampung.
“Jabodetabekpunjur memiliki peran sangat penting di Indonesia. Dibidang ekonomi saja, kawasan ini menyumbang 19,9 persen dari total Produk Regional Domestik Bruto (PRDB) Nasional. Ini memberi implikasi pada tingginya aglomerasi penduduk di kawasan ini, sehingga Jabodetabekpunjur menjadi kawasan metropolitan terbesar di Indonesia dan kedua di dunia setelah metropolitan Tokyo,” ujar Darmin dalam Konsultasi Publik Rencana Tata Ruang (RTR), di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Senin (16/4/2018).
Ia mengatakan sebagai pusat kegiatan ekonomi, Jabodebekpunjur memiliki daya tarik bagi penduduk untuk bermigrasi ke wilayah tersebut. Ini membuat laju pertumbuhan jumlah penduduk Jabodetabekpunjur sangat tinggi. Jumlah penduduk di kawasan ini 22 juta jiwa pada 2012 dan sekarang 32 juta jiwa. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan ruang atau tempat tinggal, tempat usaha dan infrastruktur.
Tentu saja, lanjut dia, baik jalan, terminal, bandara, pelabuhan, jaringan air bersih, air limbah, pembangkit listrik dan sebagian. sementara daya dukung lahan terbatas sehingga timbul berbagai permasalahan. Misal secara umum konversi lahan tidak terbangun menjadi terbangun antara 2012-2015 sebesar 48 persen dan untuk konversi lahan pertanian jadi lahan terbangun 24,3 persen.
“Kita yang sudah lama tinggal di Jakarta akan ingat waktu jalan tol Cikampek atau tol yg ke daerah barat tadinya sawah semua kalaupun tidak sawah ada pembuatan batu bata. begitu dibangun jalan tolnya itu urutannya gini matikan airnya, setelah beberapa thn airnya dimatikan mulai bisa diminta untuk konversi jadi yg lain itu rumusan berlaku sampai hari ini sehingga hampir 1/4 sawah berubah jadi pemukiman, industri, Infrastruktur dan sebagainya,”katanya.
Darmin menegaskan banjir dalam skala besar sudah lama terjadi, tapi dahulu tidak setiap tahun atau beberapa tahun. Dalam catatan yang ada pernah terjadi pada tahun 1699 ketika VOC baru berdiri. Kemudian banjir terjadi lagi pada tahun 1714. Selanjutnya, banjir kembali terjadi pada tahun 1854, 1918, 1996.
Frekuensi banjir di Jakarta akhirnya makin sering terjadi. Mulai tahun 2002 2007, 2008, dan 2013. Banjir terjadi karena peningkatan debit sungai yang disebabkan perubahan kondisi hulu dan sedimentasi yang mengurangi kapasitas penampungan aliran sungai. Timbulnya slum area mencapai 891.963 RT pada 2013.
“Data metropolitan priority area, Jabodetabek rasio cakupan pelayanan pembuangan limbah di Jakarta pada 2010 hanya 2 persen. sebagian besar air limbah tidak diolah. Citarum bagian dari persoalan besarnya. Seiring jalannya waktu, dibarengi pertumbuhan penduduk kontaminasi air pada sungai dapat memburuk kalau tidak diimbangi tindakan yang tepat,”jelasnya.
Pada 1990 hanya 12 persen atau 1600 ha lahan di Jakarta Utara di bawah permukaan laut. Tapi pada 2030 diperkirakan hampir 90 persen atau 12.500 lahan di Jakarta Utara akan kena banjir baik dari laut maupun dari sungai. Karena air sungai tak dapat menuju ke laut. Selain itu terdapat penurunan muka tanah di pesisir Jakarta akibat abstraksi air yang menyebabkan penurunan muka tanah di Jakrarts rata-rata 7,5 cm per tahun.