Satu Dasawarsa Terakhir, Ketimpangan Kaya Miskin Makin Parah

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 16 April 2018 | 09:27 WIB
Satu Dasawarsa Terakhir, Ketimpangan Kaya Miskin Makin Parah
Pemukiman padat penduduk di bantaran Sungai Ciliwung di kawasan Manggarai, Jakarta, Senin (9/4).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Model pertumbuhan ekonomi konstan yang diterapkan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia dinilai potensial menciptakan lebih banyak kesenjangan pendapatan.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto di Jakarta, Senin (16/4/2018), mengungkapkan model pertumbuhan ekonomi yang dianut Indonesia tersebut tak hanya menciptakan kesenjangan yang tidak menguntungkan rakyat kebanyakan, tapi juga menjadi semacam ketergantungan.

"Pemerintahan Orde Baru telah mampu meningkatkan legitimasi politiknya dengan membebaskan tekanan ekonomi akibat inflasi hingga 640 persen. Inflasi turun hingga 11 persen dan ekonomi tumbuh 9,4 persen pada lima tahun pertama pemerintahan," kata Suroto.

Semenjak inilah kata dia, apa pun tensi politiknya, hanya satu pilihannya, ekonomi harus tumbuh hingga Indonesia kemudian terjebak pada pertumbuhan ekonomi konstan.

"Selain ekonomi dualistik yang tak berubah strukturnya seperti pada masa kolonialisme, ternyata gempita pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi konstan hanya menyisakan ancaman defisit fiskal untuk menambal sulam masalah kemiskinan," katanya.

Hal itu kemudian diperburuk dengan krisis ekologi yang terjadi akibat laju pertumbuhan komoditas ekstraktif yang ditopang oleh sektor tersier.

"Ekonomi kita terus bertumbuh hampir tanpa jeda hingga rata-rata lima persen, namun ternyata belum juga mampu menciptakan modalitas finansial pembangunan. Kita hanya mampu ciptakan ekonomi merembes ke atas yang setiap saat dapat tergerus oleh gejolak ekonomi dunia yang semakin tidak menentu," katanya.

Ia mengamati skala investasi asing semakin besar, utang membengkak, hingga ekonomi tumbuh dengan ketergantungan konsumsi yang tinggi pada importasi pangan dan energi. Di sisi lain harga komoditas ekstraktif selalu berkecenderungan turun secara relatif dibandingkan dengan sektor pangan.

Suroto juga mencatat dalam satu dasawarsa terakhir, ekonomi tumbuh di atas lima persen, namun ketimpangan dari kelompok elit kaya dengan kelompok menengah ke bawah mayoritas justru semakin konsentratif. "Ini dapat dilihat dari rasio gini tetap kukuh bertengger di angka 0,40an. Kue ekonomi yang ternyata 25 persen dikuasai hanya oleh 0,02 jumlah penduduk, dan kepemilikan aset nasional yang menganga lebar karena separuhnya lebih hanya dikuasai oleh satu persen elit kaya," katanya.

Menurut Suroto, jika Indonesia tidak ingin terjebak pada ketergantungan pada pertumbuhan ekonomi konstan ini maka dimensi pembangunan harus diarahkan ke dalam agenda demokratisasi ekonomi sebagaimana diperintahkan konstitusi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI