Suara.com - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan agar aktivitas impor pangan jangan sampai dilakukan untuk sejumlah kepentingan lain seperti pembiayaan kegiatan politik di Tanah Air.
"Indikasi pemberian izin impor dan penetapan kuotanya merupakan upaya untuk membiayai aktivitas politik makin terlihat belakangan ini," kata Abdul Halim, di Jakarta, Senin (9/4/2018).
Menurut dia, adanya tarik ulur kewenangan perizinan dan rekomendasi impor sejumlah komoditas menjadikan praktik impor pangan untuk pembiayaan aktivitas politik menjadi serba mudah.
Kebijakan seperti untuk melakukan impor pangan juga dinilai selayaknya memperhatikan rekomendasi dari kementerian teknis sehingga tidak merugikan produksi pertanian, perkebunan, hingga kelautan dan perikanan yang telah dihasilkan di dalam negeri.
Anggota Komisi IV DPR Fauzih Amro di Jakarta, Senin (12/3), menginginkan dihapusnya regulasi yang dibuat untuk mengabaikan rekomendasi kementerian teknis.
Politisi Hanura itu berpendapat, salah satu contoh regulasi seperti itu adalah Peraturan Menteri Perdagangan No 1 Tahun 2018. "Ini memotong rekomendasi kementerian teknis, sehingga Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti tidak dianggap," katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, data yang telah dihimpun terkait dengan stok produksi pangan di dalam negeri juga menjadi seakan-akan terabaikan.
Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi DPR RI Hermanto mengemukakan, prinsip kedaulatan pangan nasional pada saat ini sedang diuji dengan masuknya berbagai komoditas bahan pangan impor yang menggerus produksi pangan domestik.
"Prinsip kedaulatan pangan kita sedang diuji, karena banyak impor pangan yang masuk ke Indonesia dan berdampak tidak baik pada petani kita," kata Hermanto.
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, salah satu indikasi dari terganggunya kedaulatan pangan adalah bila kondisi pangan nasional bergantung kepada produk luar negeri.