Suara.com - Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, mengkritik capaian ekonomi pemerintahan Preiden Joko Widodo. Menurutnya, ada salah kaprah yang terjadi meskipun capain ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi diapresiasi negara lain dan lembaga donor, IMF dan Bank Dunia.
"Dengan utang yang sangat besar dan angka yang pasti soal jumlah total utang luar negeri masih belum tersedia dengan valid malah otoritas keuangan dan moneter selalu berkilah dan berbangga diri secara tak masuk akal," kata Defiyan saat dihubungi Suara.com, Senin (9/4/2018).
Bahkan soal utang luar negeri pun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pihak lain kurang pemahaman soal keperluan berutang, manfaat dan tujuan berutang secara nasional. Menurutnya, itu adalah tudingan yang sangat naif, prejudice dan kekanak-kanakan. Apalagi membandingkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto adalah sesuatu penilaian dan pembanding yang salah kaprah.
"Pertanyaan yang harus diajukan kepada Sri Mulyani adalah, apakah saat utang jatuh tempo nanti angsurannya bisa dibayarkan dengan PDB atau utang dibayar dengan utang pula?," ujarnya.
Selain Sri Mulyani, bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution termasuk membanding-bandingkan rasio utang atas PDB dengan negara lain. Padahal menurutnya, tindakan ini juga melakukan kesalah kaprahan, dan disampaikan secara diametral dengan negara maju seperti Jepang dan USA.
"Utang bukan satu-satunya cara dalam menyelesaikan permasalahan infrastruktur apalagi dengan alasan tak memiliki tabungan (saving). Sebab jika utang dialokasikan dalam jumlah besar pada pembangunan infrastruktur, maka dana yang berasal dari utang tersebut akan mengendap lama dalam bentuk aset tak bergerak atau tak menghasilkan secara langsung," jelasnya.
Nasibnya akan berbeda halnya jika alokasi utang yang ada dialokasikan untuk pembangunan sektor ekonomi produktif, maka dana utang tak mengendap terlalu lama, dan jika sektor produktif dikelola dengan baik, efektif dan efisien, maka akan mengungkit (leverage) kegiatan ekonomi masyarakat yang akan menghasilkan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
"Prioritas dan jebakan utang secara sederhana atau skala ekonomi mikro Rumah Tangga misalnya, apakah sebuah keluarga Rumah Tangga Ekonomi yang baru sebagai subyek ekonomi produktif akan memprioritaskan membangun rumah dulu atau menyelesaikan permasalahan kebutuhan pokok (need) Rumah Tangga nya dulu?," jelasnya.
Ia menegaskan soal pembangunan infrastruktur bukan soal kecepatan dan kelambanan, tetapi soal skala prioritas dalam membangun. Apalagi Rumah Tangga produktif baru tadi tak bekerja atau menganggur (dalam ekonomi makro lapangan kerja tak tersedia), maka tentu saja dana utang yang telah diambil untuk membangun rumah lebih dulu akan tertanam, sementara kewajiban membayar cicilan utang sudah mulai berjalan.
"Lalu, apa yang terjadi adalah penjualan asset atau harta Rumah Tangga tersebut yang terperangkap utang (debt trap)," tutupnya.