Suara.com - Temuan Badan Pemeriksa Keuangan terkait kerugian negara mencapai Rp185 triliun akibat pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia ( PTFI ) patut dipertanyakan. Sampai saat ini tidak ada tindakan tegas dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
"Masalah ini patut dipertanyakan mengingat dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan penyalah gunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung dan perubahaan ekosistem akibat limbah operasional tambangnya," kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman saat dihubungi Suara.com, Kamis (5/4/2018).
Berdasarkan hasil perhitungan oleh tenaga ahli BPK dari Institut Pertanian Bogor, nilai ekosistem yang dikorbankan dari pembuangan limbah opersional pertambangan PT Freeport Indonesia sekitar Rp185 triliun. Kerugian ini diungkapkan oleh anggota BPK Rizal Djalil melalui konfrensi pers di kantor pusat BPK, Jakarta, Senin ( 19/3/2018 ).
Kemudian mengenai pelanggaran berikutnya, BPK turut menerima data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ( LAPAN ) yang memperlihatkan luasan wilayah terdampak limbah semakin besar.
Kemudian mengenai pelanggaran berikutnya, BPK mendapati PT FI telah menggunakan kawasan hutan lindung untuk operasional penambangannya dengan luasan minimal 4.535, 93 hektar.
"PT FI disebut melanggar karena belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan , sehingga jelas bertentangan dengan Undang Undang Kehutanan nomor 4 tahun 1999 jo Undang Undang nomor 19 tahun 2004," ujarnya.
Anehnya menurut Yusri, sampai sekarang terhitung sudah hampir setahun dari hasil laporan Hasil Pemeriksaan itu belum ada tindak lanjutnya sama sekali. Sampai saat ini PT Freeport Indonesia hanya bersikap diam-diam saja.
Padahal BPK sudah merekomendasi semua temuan tersebut kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ESDM. Seharusnya masalah ini sudah harus menjadi prioritas utama kepada kedua kementerian itu utk menindak lanjuti rekomendasi itu.
"Kalau tidak dilakukan , maka ada konsekwensi hukumnya bagi pejabat bersangkutan , artinya diduga melakukan pembiaran dan bisa dijerat pasal pidana korupsi," jelasnya.
Sebelumnya Pemda Papua juga mengeluh atas lalainya PT FI belum membayar pajak penggunaan air permukaan senilai Rp3,5 triliun setelah Pengadilan Pajak Indonesia menolak gugatan PT FI pada 17 Januari 2017.