Suara.com - Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia Soelaeman Soemawinata mengungkapkan meski saat ini sudah 70 persen anggota REI yang mengembangkan rumah subsidi, namun pelaksanaan Program satu juta rumah atau PSR masih dihadapkan dengan berbagai hambatan.
Salah satu hal yang menjadi hambatan adalah belum terealisasinya kebijakan penyederhanaan perizinan untuk pembangunan rumah subsidi sesuai dengan PP Nomor 64 tahun 2017.
“Selain itu juga, pembangunan rumah bersubsidi juga mengalami bottle neck dalam penyaluran subsidi FLPP oleh perbankan di sejumlah daerah, karena kurangnya SDM yang ada, sangat disayangkan tiga tahun program ini berjalann tapi masih belum mendapatkan perhatian yang mendalam,” kata Soelaeman di Jakarta, Senin (2/4/2018).
Ia mencontohkan salah satu kasus yang mennjadi hambatan adalah soal penyediaan air dan listrik.
Baca Juga: REI Bangun 250 Ribu Rumah Subsidi di 2018
Soelaeman mengatakan, penyediaan listrik dan air bersih merupakan salah satu syarat untuk akad kredit. Kalau prosesnya lama, maka akad kredit tertunda dan yang menderita adalah pengembang, karena menanggung bunga kredit konstruksi (modal kerja) yang tinggi.
"Padahal marjin membangun rumah subsidi sangat kecil yakni di bawah 10 persen,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menilai suku bunga kredit konstruksi yang relatif tinggi. Bunga kredit konstruksi untuk pengembang subsidi saat ini disamakan dengan bunga untuk pengembang nonsubsidi yang berkisar 11-13 persen. Sementara untuk pembeli rumah subsidi pemerintah sudah menyediakan KPR dengan suku bunga 5 persen dan uang muka 1 persen.
“Program ini bagus sekali tapi akan sulit terealisasi kalau belum semua stakeholder bergerak. REI tidak bisa lari sendiri, karena kami butuh support pemangku kepentingan lain, mengingat PSR ini adalah program strategis nasional dan bagian dari Nawacita Presiden Jokowi," ujarnya.
Baca Juga: 2018, REI akan Bangun 15 Ribu Rumah Subsidi di Banten