Keganjilan kedua, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengunjungi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada Agustus 2017. Sri Mulyani menyinggung masalah cukai rokok di kampus yang menurutnya selama ini menurutnya dikenal dekat dengan industri rokok. Setelah itu tidak ada aktvitas apapun sampai tiba-tiba muncul PMK baru tentang cukai industry hasil tembakau yang terbit pada Oktober 2018.
Julius menyebut intervensi industri rokok terhadap pemerintah bersifat sangat holistik. Intervensi itu menyasar mulai dari pejabat yang paling rendah hingga yang tertinggi. Presiden Joko Widodo sendiri menurutnya memiliki perspektif yang sangat ketat dalam pengendalian rokok. Ia pernah menyampaikan kepada publik bahwa banyak keluarga miskin yang lebih banyak menghabiskan belanja untuk pemenuhan kebutuhan rokok daripada kebutuhan gizi sehari-hari.
“Tapi persis dibawah Presiden Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan PMK yang perspektifnya berbeda dengan sang Presiden. Walaupun Presiden Jokowi kini tengah fokus membangun infrastruktur membutuhkan dana besar, jangan mengandalkan peningkatan penerimaan cukai rokok. Karena itu menjadi cek kosong karena kerugian akibat rokok bisa 4 kali lipat dari penerimaan cukai rokok negara. Ini adalah bentuk pembangkangan dari Sri Mulyadi terhadap Joko Widodo, tapi mungkin dia tidak menyadarinya,” urainya.
Pemerintah Bantah Anak Emaskan Industri Rokok Kretek
Sudah pasti pemerintah membantah telah menganakemaskan industri rokok kretek dan menganaktirikan industri rokok putih.Pemerintah berdalih tak pandang bulu dalam proses pembuatan PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
“Semua proses penyusunan itu sudah melibatkan masukan dan kajian dari berbagai pihak. Mulai dari LD FE UI, DDTC, UGM, CITA, INDEF dan termasuk kajian saya sendiri. Semua kami undang dalam proses pembahasan. Bahkan kami juga mengundang, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perdagangan. Termasuk asosiasi dari kalangan industri rokok,” kata Nasrudin Djoko Surjono, Kabid Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dalam wawancara khusus dengan Suara.com di Jakarta, Senin (22/1/2018).
Nasrudin Djoko Surjono Kabid Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, BKF, Kementerian Keuangan. [Suaracom/Adhitya Himawan]
Ia menegaskan bahwa BKF tetap konsisten berkomitmen berpartisipasi dalam pengendalian tembakau. Walaupun ada asosiasi industri rokok mengirim surat kepada BKF agar tidak menaikkan cukai rokok, namun BKF tetap maju dalam proses pembuatan PMK baru yang menaikkan cukai rokok.
Mengenai penaikan cukai rokok yang lebih tinggi terhadap rokok putih dibanding rokok kretek, Djoko mengatakan jika dilihat secara detail, sejak tahun 2017 kategori SKM golongan I tarifnya Rp530, golongan II Rp365, golongan IIB Rp335. Sementara tarif cukai kategori SPM golongan I Rp555, golongan II Rp330. “Jadi tarif cukai SPM golongan II itu dibawah tarif cukai SKM golongan II. Walaupun untuk golongan I, yang SPM lebih tinggi dari SKM,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa pada tahun 2020, pemerintah akan menyamakan tarif cukai SPM dengan SKM. Inilah sebabnya mengapa pemerintah menaikkan tarif cukai rokok SPM naik lebih tinggi dibanding SKM untuk mengejar penyamaan tarif tersebut. “Ini untuk mendekatkan selisih tarif,” urainya.