Si Putih Jadi Anak Tiri, Si Kretek Jadi Anak Emas

Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 31 Maret 2018 | 14:18 WIB
Si Putih Jadi Anak Tiri, Si Kretek Jadi Anak Emas
Peserta Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (FCTC) menggelar aksi Deklarasi 10 Mei FCTC untuk Indonesia di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (10/5)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Di dalam rokok kretek mesin (SKM), pangsa pasar terbesar dikuasai oleh perusahaan rokok golongan 1 (63%) yang berproduksi diatas 3 miliar batang per tahun. Demikian pula di rokok kretek tangan (SKT) dan rokok putih mesin (SPM) pangsa pasar terbesar dikuasai oleh perusahaan rokok besar golongan 1. Hal ini memperlihatkan bahwa perokok di Indonesia sebagian besar mampu membeli rokok dengan harga mahal (SKM, SKT dan SPM golongan 1 yang harganya paling mahal. Ada anomali dimana rokok dengan harga murah (SKT golongan 3b) yang seharusnya menjadi yang terlaris justru tidak terjadi.

“Implikasinya, agar efektif menurunkan konsumsi rokok dan menaikkan penerimaan negara maka pemerintah seharusnya meningkatkan cukai tertinggi pada SKM Golongan 1 yang menguasai 63% pangsa pasar rokok,” jelas Abdillah.

Masalah mulai muncul ketikapeningkatan tarif cukai berdasarkan hitungan pemerintah adalah 10.04%. Hitungan rata-rata sederhana Lembaga Demografi FE UI adalah 10%. Dalam aturan baru tersebut, ditemukan fakta bahwa peningkatan tarif cukai tertinggi terjadi pada rokok putih mesin golongan 2 sebesar 22,4%. Peningkatan tarif cukai terendah terjadi pada rokok kretek tangan golongan 3 sebesar 0%. Selain meningkatkan tarif cukai rokok, pemerintah juga meningkatkan harga jual eceran (HJE). Peningkatan tertinggi HJE terjadi pada rokok putih mesin golongan 1 sebesar 9,7%. Sementara untuk rokok kretek mesin golongan 1 HJE nya meningkat sebesar 0% alias tidak meningkat.

Tabel Penaikan Tarif Cukai Rokok dan Harga Jual Eceran
Tabel Penaikan tarif cukai rokok beserta harga jual eceran yang diatur dalam PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. (Sumber : Presentasi Analisis Kritis Kebijakan Cukai Rokok oleh Abdillah Ahsan, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)

 Ia menyebut pangsa pasar pabrikan rokok SKM golongan 1 yang sangat dominan di Indonesia sebetulnya hanya dikuasai 14 pabrikan besar. Diantaranya nama-nama yang sudah sangat dikenal bagi masyarakat Indonesia seperti Phillip Morris Sampoerna, BAT, Gudang Garam, Djarum, Nojorono dan lain sebagainya.

“Memang semua rokok berbahaya buat kesehatan. Tetapi akan lebih efektif untuk pengurangan konsumsi rokok jika peningkatan cukai rokok tertinggi diberlakukan bagi SKM golongan 1. Apalagi UU kita tidak ada menyebut rokok kretek harus dilindungi dibanding rokok putih. Semua rokok sama saja, berdampak buruk bagi kesehatan,” sesalnya.

Menurutnya, kerangka regulasi cukai rokok terbaru ini justru menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap industri rokok besar dalam negeri. Pemerintah memang ingin menggencet industry rokok putih mesin. Namun disisi lain, pemerintah memberi keleluasaan terhadap industri rokok kretek tangan. Bahkan pemerintah memberikan kebebasan bagi raksasa industri rokok kretek mesin untuk tidak menaikkan harga jual eceran. “Dari sudut pengendalian konsumsi tembakau, ini sangat merugikan. Terlihat pemerintah tidak ksatria berhadapan dengan industri rokok kretek mesin,” jelasnya.

Sikap diskriminatif pemerintah terhadap rokok putih dibanding pada rokok kretek juga menuai kritik dari Julius Ibrani, advokat dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Julius yang juga pegiat pengendalian tembakau serta anggota Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) menegaskan bahwa cukai itu pada prinsipnya seperti “sin tax” alias pajak dosa. Cukai diterapkan kepada barang yang dampaknya merusak bagi kesehatan fisik dan mental manusia.

“Nah perspektif itu tidak ada dalam PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Ini terlihat dari penerapan cukai terhadap SKM maupun SKT. Banyak sekali riset menunjukkan angka konsumsi terhadap kedua jenis rokok tersebut yang sedang ngetren. Kita patut bertanya apa yang menjadi pertimbangan pemerintah,” ujarnya.

Ia menyebut proses kelahiran PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil sejak Agustus hingga Oktober 2017 tidak transparan. Keganjilan ini dimulai ketika terbitnya PMK ini tidak disertai pemaparan hasil riset, data, dan kajian yang jadi basis pengambilan keputusan pemerintah. “Keganjilan pertama, kenapa pengenaan cukai justru rata-rata menjadi 10% dari semula yang awalnya 12%. Apalagi kenaikan cukai yang paling rendah justru pada jenis rokok yang paling dikonsumsi,” tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI