Namun Muhaimin mengakui dari sembilan perusahaan rokok putih yang menjadi anggota Gaprindo, sebagian memang perusahan asing. Ada Phillip Morris, Sampoerna, Bentoel, Tresno, PT Sumatera Tobacco Trading Company (STTC) beserta 2 sister company, Japan Tobacco International dan Korean Tobacco & Ginseng. “Memang kecuali STTC, semua anggota kami adalah perusahaan asing,” tutupnya.
Tidak demikian halnya dengan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Asosiasi industri rokok kretek ini mendukung penuh regulasi PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Menurut Ismanu Soemiran, Ketua Gappri, beleid baru tersebut sudah mempertimbangkan kontribusi industri rokok kretek nasional terhadap perekonomian Indonesia. Oleh sebab itulah perlu ada kebijaksaan tersendiri menyangkut pengenaan cukai terhadap rokok kretek.
“Ini bukan soal mana yang lebih tinggi. Bisnis itu kan masalah demand (permintaan, red). Faktanya demand rokok kretek lebih tinggi dibanding rokok putih,” kata Ismanu saat dihubungi Suara.com, Kamis (20/2/2018).
Selain itu, Ismanu menegaskan bahwa industri rokok kretek merupakan industri padat karya. Sebab proses produksi rokok kretek ada yang melibatkan tangan manusia dan ada juga yang mesin. Sementara produksi rokok putih sepenuhnya mengandalkan mesin.
“Saya kira pemerintah mempertimbangkan faktor ini. Jadi bukan masalah soal anak emas atau bukan,” ujarnya.
Abdillah Ahsan, Peneliti dari Lembaga Demografi Fakulta Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, memaparkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Regulasi ini diterbitkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 24 Oktober 2017. Beleid terbaru pengenaan cukai terhadap produk industri hasil tembakau ini telah berlaku mulai 1 Januari 2018 yang lalu.
PMK terbaru tersebut merupakan turunan dari UU No 39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Dalam UU Cukai yang berlaku sudah mengamanatkan dengan jelas bahwa penerapan cukai pada sebuah objek, termasuk produk olahan hasil tembakau memang bertujuan untuk membatasi atau mengendalikan konsumsinya. “Oleh sebab itu desain kebijakan cukai harus didasarkan pada filosofi pengurangan konsumsi rokok,” kata Abdilllah saat diwawancarai Suara.com di Depok, Jawa Barat, Kamis (18/1/2018).
Pasar industri rokok di Indonesia sendiri selama ini terdiri dari tiga golongan, yakni Sigaret Putih Mesin (SPM), Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Saat ini pangsa pasar industry rokok nasional sangat didominasi jenis SKM yang mencapai 73 persen.
Tabel pemetaan pangsa pasar industri rokok nasional yang terbagi dalam tiga golongan, SKT, SKM, dan SPT. Tabel ini mengacu data dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Sumber : Presentasi Analisis Kritis Kebijakan Cukai Rokok oleh Abdillah Ahsan, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesi